Diversitas dalam kehidupan bermasyarakat
merupakan suatu keniscayaan yang tak terbantahkan. Diversitas atau yang sering
kita kenal dengan keragaman menjadi salah satu karakteristik dalam setiap
individu. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang tidak memahami setiap
perbedaan sebagai kekayaan. Dampaknya, mereka mudah tersulut api emosi ketika
terjadi perdebatan akibat keberagaman. Selanjutnya, kebersamaan akan sulit
tercipta, karena masih adanya dikotomi dalam masyarakat. Sehingga masyarakat
cenderung eksklusif dalam menerima keberagaman yang ada. Masih teringat jelas
perselisihan antar umat beragama di daerah Sampang, menjadi salah satu kasus
yang menampar dunia Islam. Hal ini harusnya tidak perlu terjadi jika kedua
belah pihak bisa saling toleransi. Dalam buku “Konflik Yahudi, Kristen, Islam”
dijelaskan bahwasanya dalam konflik antar umat beragama terdapat dua kutub
pemikiran. Pertama, adanya sikap “emoh agama” yang menganggap bahwa
agama merupakan sumber konflik sehingga harus disingkirkan. Kedua, upaya
“penyamaan” semua agama. Karena adanya pandangan tentang perbedaan konsepsi
agama merupakan sumber konflik, maka dilakukanlah upaya “menyamakan” agama.
Di Indonesia kita mengenal Abdurrahman Wahid
sebagai bapak pluralisme. Gebrakannya untuk menyatukan masyarakat Indonesia
sangat gigih. Gus Dur memahami kemajemukan sebagai suatu keharusan (Normativ
Pluralism). Baginya, keberagaman merupakan rahmat yang telah digariskan
oleh Allah SWT. Tak heran jika banyak kalangan yang sangat kagum dengan sikap
toleran yang dimiliki Gus Dur. Dalam bidang keagamaan, Gus Dur tidak sepakat
dengan adanya sikap pluralisme indiferent, yang menganggap semua agama itu
sama. Karena Indonesia merupakan negara yang multikultural, harusnya konsep
penyamaan agama tidak boleh lepas dari aspek keberagaman. Konsep penyamaan
agama ini tidak boleh terlepas dari adanya konsepsi agama-agama yang berbeda.
Adanya kesadaran untuk menerima perbedaan tersebut, tentunya konflik atas nama
agama akan segera meredup.
Bukan Mayoritas dan Minoritas
Beberapa hari terakhir banyak terjadi
perselisihan antar umat beragama maupun antar suku. Sering kali, konflik antar
umat beragama dan antar suku tersebut berlabel “mayoritas dan minoritas”. Dalam
sebuah kebersamaan, harusnya tidak ada pelabelan demikian. Semua konflik yang
terjadi menjadi konflik warga negara Indonesia, bukan konflik mayoritas dan
minoritas. Persoalannya, dalam kacamata hukum hanya melihat dari mayoritas dan
minoritas. Dampaknya kaum mayoritaslah yang selalu mutlak menang, dan minoritas
selalu menjadi kaum terpinggirkan. Didalam undang-undang juga ditegaskan bahwa
setiap warga negara memiliki hak yang sama dihadapan hukum. Jadi, konflik atas
nama apapun, harus diselesaikan berdasar atas konflik warga negara Indonesia.
Dalam keberagaman kita memiliki semboyan Bhineka
Tunggal Ika yang patut kita junjung tinggi. Meskipun kita hidup dalam
“ke-berbeda-an”, bukan berarti kita harus menutup diri dari “ke-berbeda-an”
tersebut. Dalam beragama, sikap inklusif dan toleran harus kita jaga. Dalam
bukunya Vorlesungen uber Religionswissenschaft karya Max Muller (1823-1900)
mengatakan bahwa setiap agama adalah benar, bahkan juga agama-agama suku. Agama
hanyalah sebuah jalan untuk menuju satu kebenaran yang hakiki. Perbedaan agama
hanya pada persoalan historis, dan geografis, bukan pada persoalan hakekatnya.
Maka, sikap inklusif dalam beragama pun patut kita jadikan pijakan dalam
memandang “ke-berbeda-an” .
Written by: Malikhah
0 Komentar