dydolumbessy.blogspot.com |
pmiigusdur.com - Feminisme adalah sebuah gerakan yang
menuntut dikembalikannya hak-hak perempuan. Seperti, dalam ekonomi, poitik,
pendidikan. Paham feminisme bermula dari
aktivisme perempuan Barat yang merasa tertindas oleh ideologi Gereja. Tidak
bisa dipungkiri, ajaran gereja pada abad ke-17 dan 18 tidak memberi tempat yang
adil terhadap perempuan. Budaya misogynic (merendahkan perempuan) oleh
Kristen bersumber dari kitab suci Kristen. Tersebut di Bible di antaranya;
“Perempuan lebih dulu berdosa, karena perempuanlah yang terbujuk oleh ular
untuk makan buah terlarang” (Kitab Kejadian [3]1-6). Dalam pandangan gereja,
perempuan direndahkan sebagai makhluk yang pertama kali membawa dosa.
Apakah agama memang menghendaki
perempuan sebagai "barang rendahan", sepenuhnya di bawah otoritas
laki-laki (ideologi patriarkat), dan tidak mungkin mendapatkan keadilan jender?
Tentu tidak! Ternyata, problemnya terletak pada ketiadaan penafsiran yang
elegan, kontekstual, dan terbuka dalam membicarakan feminitas (persoalan
perempuan). Hanya dengan penafsiran yang terbuka dan kontekstua. Sejainya agama
memiliki semangat dan kepekaan yang sangat besar dalam menghendaki keadilan
jender.
Teks dan tafsir sangat terikat
pada si penafsir selama proses
pembentukan makna teks. Untuk itulah,
perlu ada "rekonstruksi tafsir" dalam memahami teks mengenai
perempuan. Dengan demikian upaya ini akan berimplikasi pada penghapusan
monopoli tafsir yang dilakukan oleh otoritas tertentu yang berbicara atas nama
Tuhan, agama, dan juga kekuasaan.
Berbagai teks agama yang tersebar
dalam lembaran-lembaran Kitab Suci perlu ditafsirkan kembali secara
kontekstual. Penafsiran secara kontekstual akan memahami kenyataan pluralitas
bahwa makna teks tidak bisa dianggap satu, final, perangkat alat penafsiran yang
komprehensif dengan melihat realitas secara objektif.
Penafsiran Al-Qur’an misalnya, dalam suroh An Nisa
ayat 34,
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$#
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita”,
Masyarakat selalu saja memaknai ayat tersebut sebagai
wujud bahwa laki-laki selalu lebih kuat dari pada kaum perempuan. Padahal jika
dipahami, kalimat tersebut justru menunjukan bahwa perempuan itu sangat dijaga,
dilindungi, dan perempuan dijamin dalam seegi penafkahan oleh lelaki.
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka)[290]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha besar”.
Persoalannya sangat jelas, yaitu
bahwa tafsir agama yang membebaskan dalam memaknai hakikat kemerdekaan
perempuan menjadi kebutuhan saat ini. Dan itulah realitas objektif dalam
penampakan kondisi kekinian. Yang seharusnya dikedepankan adalah bagaimana kita
menciptakan rekonstruksi tafsir yang lebih dimaknai secara demokratis dan
kontekstual. Sehingga, agama benar-benar memang berwajah sebagai ajaran yang
sangat respek dengan berbagai persoalan keadilan jender.
Oleh:
Ni’matussyifa (Sekretaris LPSAP Periode 2013-2013)
0 Komentar