pmiigusdur.com - Penggunaan ketiga kata di atas dalam satu nafas, tentu banyak membuat
orang marah. Seolah-olah penulis menyamakan ketiga peristiwa itu,
karena bagi kebanyakan kaum Muslimin, satu dari yang lain sangat berbeda
artinya. Harlah (hari lahir) digunakan untuk menunjuk kepada saat
kelahiran seseorang atau sebuah institusi. Dengan demikian, ia memiliki
“arti biasa” yang tidak ada kaitannya dengan agama. Sementara bagi kaum
Muslimin, kata Maulid selalu diartikan saat kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Dan kata Natal bagi kebanyakan orang, termasuk kaum Muslimin dan
terlebih-lebih kaum Nasrani, memiliki arti khusus yaitu hari kelahiran
Isa Al-Masih. Karena itulah, penyamaannya dalam satu nafas yang
ditimbulkan oleh judul di atas, dianggap “bertentangan” dengan ajaran
agama. Karena dalam pandangan mereka, istilah itu memang harus dibedakan
satu dari yang lain. Penyampaiannya pun dapat memberikan kesan lain,
dari yang dimaksudkan oleh orang yang mengucapkannya.
Kata Natal, yang menurut arti bahasanya adalah sama dengan kata
harlah, hanya dipakai untuk Nabi Isa al-Masih belaka. Jadi ia mempunyai
arti khusus, lain dari yang digunakan secara umum -seperti dalam bidang
kedokteran, seperti perawatan pre-natal yang berarti “perawatan sebelum
kelahiran”-. Yang dimaksud dalam peristilahan ‘Natal’ adalah saat Isa
Al-Masih dilahirkan ke dunia oleh “perawan suci” Maryam. Karena itulah
ia memiliki arti tersendiri, yaitu saat kelahiran anak manusia bernama
Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia. Karena kaum Nasrani
mempercayai adanya dosa asal. Anak manusia yang bernama Yesus Kristus
itu sebenarnya adalah anak Tuhan, yang menjelma dalam bentuk manusia,
guna memungkinkan “penebusan dosa” tersebut. Karena itu penjelmaannya
sebagai anak manusia itu disebut juga oknum, yang merupakan salah satu
dari oknum roh suci dan oknum Bapa yang ada di surga.
Sedangkan Maulid adalah saat kelahiran Nabi Muhammad Saw. Pertama
kali dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi
dari Dinasti Mamalik yang berkebangsaan Kurdi itu. Dengan maksud untuk
mengobarkan semangat kaum Muslimin, agar menang dalam perang Salib
(crusade), maka ia memerintahkan membuat peringatan hari kelahiran Nabi
Muhammad tersebut, enam abad setelah Rasulullah wafat. Peristiwa Maulid
itu hingga kini masih dirayakan dalam berbagai bentuk, walaupun Dinasti
Sa’ud melarangnya di Saudi Arabia. Karya-karya tertulis berbahasa Arab
banyak ditulis dalam puisi dan prosa untuk “menyambut kelahiran” itu.
Karenanya dua kata (Natal dan Maulid) yang mempunyai makna khusus
tersebut, tidak dapat dipersamakan satu sama lain, apapun juga
alasannya. Karena arti yang terkandung dalam tiap istilah itu
masing-masing berbeda dari yang lain, siapapun tidak dapat membantah hal
ini. Sebagai perkembangan “sejarah ilmu”, dalam bahasa teori Hukum
Islam (fiqh) kedua kata Maulid dan Natal adalah “kata yang lebih sempit
maksudnya, dari apa yang diucapkan” (yuqlaqu al’am wa yuradu bihi
al-khash). Hal ini disebabkan oleh perbedaan asal-usul istilah tersebut
dalam sejarah perkembangan manusia yang sangat beragam itu. Bahkan tidak
dapat dipungkiri, bahwa kata yang satu hanya khusus dipakai untuk
orang-orang Kristiani, sedangkan yang satu lagi dipakai untuk
orang-orang Islam.
******
Natal, dalam kitab suci al-Qur’an disebut sebagai “yauma wulida”
(hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan
sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: “kedamaian atas orang
yang dilahirkan (hari ini)” (salamun yauma wulid) yang dapat dipakaikan
pada beliau atau kepada Nabi Daud. Sebaliknya, firman Allah dalam surat
al-Maryam: “Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku” (al-salamu
‘alaiyya yauma wulidtu), jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa.
Bahwa kemudian Nabi Isa “dijadikan” Anak Tuhan oleh umat Kristiani,
adalah suatu hal yang lain lagi, yang tidak mengurangi arti ucapan Yesus
itu. Artinya, Natal memang diakui oleh kitab suci al-Qur’an, juga
sebagai kata penunjuk hari kelahiran beliau, yang harus dihormati oleh
umat Islam juga. Bahwa, hari kelahiran itu memang harus dirayakan dalam
bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud yang
berbeda, adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan. Jika penulis
merayakan Natal adalah penghormatan untuk beliau dalam pengertian yang
penulis yakini, sebagai Nabi Allah Swt.
Sedangkan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (Saladin the Saracen),
penguasa dari wangsa Ayyub yang berkebangsaan Kurdi/ non-Arab itu, enam
abad setelah Nabi Muhammad saw wafat, harus berperang melawan
orang-orang Kristiani yang dipimpin Richard berhati singa (Richard the
Lion Heart) dan Karel Agung (Charlemagne) dari Inggris dan Perancis
untuk mempertanggungjawabkan mahkota mereka kepada Paus, melancarkan
perang Salib ke tanah suci. Untuk menyemangatkan tentara Islam yang
melakukan peperangan itu, Saladin memerintahkan dilakukannya perayaan
Maulid Nabi tiap-tiap tahun, di bulan kelahiran beliau. Bahwa kemudian
peringatan itu berubah fungsinya, yang tidak lagi mengobarkan semangat
peperangan kaum Muslimin, melainkan untuk mengobarkan semangat
orang-orang Islam dalam perjuangan (tidak bersenjata) yang mereka
lakukan, itu adalah perjalanan sejarah yang sama sekali tidak
mempengaruhi asal-usul kesejarahannya.
Jadi jelas bagi kita, kedua peristiwa itu jelas mempunyai asal-usul,
dasar tekstual agama dan jenis peristiwa yang sama sekali berbeda. Ini
berarti, kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati hari
kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka bebas
merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama.
Penulis menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama kaum Kristiani
merayakannnya bersama-sama. Dalam literatur fiqh, jika kita duduk
bersama-sama dengan orang lain yang sedang melaksanakan peribadatan
mereka, seorang Muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka
asalkan ia tidak turut dalam ritual kebaktian. Namun hal ini masih
merupakan “ganjalan” bagi kaum muslimin pada umumnya, karena
kekhawatiran mereka akan “dianggap” turut berkebaktian yang sama. Karena
itulah, kaum Muslimin biasanya menunggu di sebuah ruangan, sedangkan
ritual kebaktian dilaksanakan di ruang lain. Jika telah selesai, baru
kaum Muslimin duduk bercampur dengan mereka untuk menghormati kelahiran
Isa al-Masih.
Inilah “prosedur” yang ditempuh oleh para pejabat kita tanpa mengerti
sebab musababnya. Karena jika tidak datang melakukan hal itu, dianggap
“mengabaikan” aturan negara, sebuah masalah yang sama sekali berbeda
dari asal-usulnya. Sementara dalam kenyataan, agama tidak mempersoalkan
seorang pejabat datang atau tidak dalam sebuah perayaan keagamaan.
Karena jabatan kenegaraan bukanlah jabatan agama, sehingga tidak ada
keharusan apapun untuk melakukannya. Namun seorang pejabat, pada umumnya
dianggap mewakili agama yang dipeluknya. Karenanya ia harus mendatangi
upacara-upacara keagamaan yang bersifat ‘ritualistik’, sehingga kalau
tidak melakukan hal itu ia akan dianggap ‘mengecilkan’ arti agama
tersebut. Ini adalah sebuah proses sejarah yang wajar saja. Setiap
negara berbeda dalam hal ini, seperti Presiden AS yang tidak dituntut
untuk mendatangi peringatan maulid Nabi Saw. Di Mesir umpamanya, Mufti
kaum Muslimin -yang bukan pejabat pemerintahan- mengirimkan ucapan
selamat Natal secara tertulis, kepada Paus Shanuda (Pausnya kaum Kristen
Coptic di Mesir). Sedangkan kebalikannya terjadi di hari raya Idul
Fitri dan Idul Adha, bukan pada hari Maulid Nabi saw. Padahal di
Indonesia pejabat beragama Kristiani, kalau sampai tidak mengikuti
peringatan Maulid Nabi saw akan dinilai tidak senang dengan Islam, dan
ini tentu berakibat pada karier pemerintahannya. Apakah ini merupakan
sesuatu yang baik atau justru yang buruk, penulis tidak tahu. Kelanjutan
sejarah kita sebagai bangsa, akan menunjukkan kepada generasi-generasi
mendatang apakah arti moral maupun arti politis dari “kebiasaan” seperti
itu.
Di sini menjadi jelas bagi kita, bahwa arti pepatah lain padang lain
ilalang, memang nyata adanya. Semula sesuatu yang mempunyai arti
keagamaan (seperti perayaan Natal), lama-kelamaan “dibudayakan” oleh
masyarakat tempat ia berkembang. Sebaliknya, semula adalah sesuatu yang
“dibudayakan” lalu menjadi berbeda fungsinya oleh perkembangan keadaan,
seperti Maulid Nabi saw di Indonesia. Memang demikianlah perbedaan
sejarah di sebuah negara atau di kalangan suatu bangsa. Sedangkan di
negeri lain orang tidak pernah mempersoalkannya baik dari segi budaya
maupun segi keyakinan agama. Karenanya, kita harus berhati-hati
mengikuti perkembangan seperti itu. Ini adalah sebuah keindahan sejarah
manusia, bukan?
Jerussalem, 20 Desember 2003
Oleh: K.H Abdurrahman Wahid
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Suara Pembaruan
0 Komentar