Oleh: Baihaqi, Nayiroh dan Umi Azizah*
Manusia merupakan suatu
spesies yang selalu mendamba keistimewaan dalam hidupnya.
Maka dari itu manusia selalu mempunyai ekspektasi tinggi atas dirinya sendiri.
Mereka
tidak akan pernah puas dengan hidup yang biasa-biasa saja. Hal ini diperkuat dengan
dimilikinya potensi bawaan sejak lahir dari
Tuhannya. Namun potensi bawaan yang dimiliki pada akhirnya
akan menjadi hal yang tidak ada artinya jika hal tersebut hanya dibiarkan
tanpa adanya suatu proses yang memperkuat dan mengembangkan potensi tersebut.
Pendidikan pada akhirnya
dipilih sebagai solusi tepat untuk memecahkan masalah diatas.
Dalam buku Filsafat Pendidikan karya Teguh Wangsa Gandhi HW
menyebutkan bahwa pendidikan berarti proses perubahan sikap
dan tingkah laku seseorang ataupun kelompok dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Hal
ini
berarti pendidikan selain sebagai hak asasi juga merupakan suatu
proses. Dalam hal ini proses dalam pendidikan mencakup hubungan
antar manusia dengan manusia, lingkungan dan alam semesta sebagai
langkah penyesuaian diri dalam hidup bermasyarakat.
Kemudian mucullah teori
pendidikan humanis yang menjadikan pendidikan sebagai sarana
untuk memanusiakan manusia demi menuju insan kamil (manusia sempurna). hal ini dirasa
penting karena manusia terkadang dapat melupakan
nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Lantas yang terjadi dewasa
ini adalah sekolah dijadikan sebagai ajang industrialisasi manusia.
Para siswa dicetak untuk menjadi manusia siap kerja, dijadikan layaknya robot yang
ahli matematika,kimia dan sebagainya. Tidak peduli sebesar
apapun dekadensi moral telah menjalar ke dalam jiwa-jiwa peserta didik. Lebih
ironis lagi dengan munculnya sistem Ujian Nasional yang menuai
pro dan kontra. Salah satunya
karena ujian nasional dianggap sebagai ajang penumbuhan
sifat kecurangan dan ketidakjujuran. Pada tahun 2014 saja tercatat
lebih dari 33 laporan kasus kecurangan tingkat
Sekolah Menengah Atas yang diterima Federasi Serikat Guru Indonesia. Lebih dari itu, dilihat
dari objek yang diujikan, hanya mencakup mata pelajaran yang sama sekali tidak
ada hubungannya dengan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan
yang didambakan dari awal adanya pendidikan.
Ideologi Pendidikan
Memperbincangkan Ideologi
pendidikan nasional, tentu tidak bisa lepas dari diskursus tentang
Ideologi negara Indonesia, karena ideologi negara adalah
ideologi yang melandasi segala kebajikan dalam kehidupan bernegara.Sebagaimana
kita ketahui ideologi yang dipakai negara Indonesia adalah Pancasila.
Konsekuensi logisnya, segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah haruslah berlandaskan pada pancasila, sesuai dengan
nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Kebijakan-kebijakan dalam
masalah ekonomi, politik, kebudayaan, hukum, juga pendidikan
misalnya, harus selaras dengan nilai-nilai luhur dan semangat Pancasila. William
O’Neill
memetakan ideologi pendidikan dalam dua paradigma utama yang berisi pendekatan
konservatif
dan liberal. Pendekatan konservatif melihat adanya ketidasejajaran dalam
masyarakat.
Namun, hal itu dianggap wajar dan merupakan hukum alamiah yang tidak
bisa dihindari karena sudah digariskan oleh
Tuhan. Pendekatan ini dibagi menjadi tiga, yaitu
fundamentalisme
pendidikan, intelektualisme pendidikan, dan konservatisme pendidikan.
Sedangkan
pada liberalisme pendidikan lebih menekankan tujuan pendidikan jangka
panjang.
Liberalisasi pendidikan
merupakan salah satu aliran dalam pendidikan saat ini yang mulai
menjadi mainsetberfikir dalam memahami makna
dari pendidikan itu sendiri, baik dikaji dari
makna filosofosnya maupun makna normatifnya. Ciri utama pendidikan yang berideologi
liberal
adalah selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi
dan politik di luar dunia pendidikan. Penguasaan
kompetensi peserta didik sebagai suatu upaya untuk memenuhi
dan menyesuaikan tuntutan dunia kerja sebagaimana
dikemukakan dalam setiap pergantian kurikulum di Indonesia.Fakta lain dari
liberalisme ini adalah mahalnya sekolah dan
kuliah.
Elitisme pendidikan seakan mengancam kesempatan rakyat miskin untuk mengenyam
pendidikan
yang memadai. Melihat kondisi tersebut tepat jika menghadirkan iedologi
pendidikan
kritis sebagai tandingan liberalisme pendidikan.
Pendidikan Kritis sebagai Alternatif
Seseorang yang sadar
denganharga dirinya akan terlepas dari berbagai kekuasaan yang
menindas
dirinya. Kekuasaan-kekuasaan yang menindas dapat lahir dari eksploitasi ekonomi,
politik
maupun sosial. Orang-orang yang memilih keluar dari ketertindasan akan termarginalisasi
secara alamiah, tetapi sebenarnya pilihan itulah yang akan membawa kepada
kebahagiaan
yang seutuhnya. Proses penyadaran tersebut hanya dapat diperoleh melalui
proses
pendidikan yang membebaskan.
Pendidikan kritis lahir
dan berkembang oleh pemikiran yang kritis. Mereka melihat secara
kritis berbagai jenis kekuasaan yang mengungkung perkembangan
pribadi mereka. Proses pendidikan tersebut mempermasalahkan
dan mencari sebab-sebab yang telah merampas kemerdekaan
seseorang serta mencarikan jalan untuk keluar dari masalah
tersebut.
Namun dewasa ini,
tampaknya pendidikan yang diajarkan bukanlah pendidikan yang kritis,
melainkan
pendidikan dogmatis.Kesalahan dogmatis bertolak dari sempitnya pemikiran pendidik.
Pendidik seharusnya mampu berfikir secara holistik dalam
memahami peserta didik, sehingga merekatidak merasa canggung dalam melaksanakan
pendidikan.
Karena sebenarnya
parameter profesionalitas guru bukan ketika ia dapat mengabdi
seutuhnya
kepada birokrasi. Namun lebih ketika ia bisa mengerti keadaan peserta didik.
Mampu
berbagi pengetahuan dan ketidaktahuan, berbagi keresahan dan harapan. Tetapi
fakta yang ada berkata lain, tidak sedikit pendidik
dalam sebuah institusi bersifat memaksa dalam mendidik.
Di UIN Walisongo,
khususnya Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, banyak aturan-aturan
yang secara tidak langsung merampas kebebasan peserta
didiknya.Contoh saja ketika dosen mewajibkan mahasiswanya untuk tidak memakai
pakaian yang berbahan jeans, atau saat mengharamkan
mahasiswinya memakai celana. Mereka berdalih bahwa calon pendidik harus
mampu mencerminkan sifat seorang pendidik. Lantas, apakah sifat-sifat seorang pendidik
bisa dituangkan dalam rok ? rasanya tidak.
Sampel diatas merupakan
masalah yang patut untuk diperhatikan. Manusia yang memiliki
kebebasan dalam bertindak, sudah semestinya hak peserta didik dapat tercover dalam
pendidikan. Masalah pantas atau tidak pantasnya kembali ke dalam
pendapat masyarakat, bukan disahkan dalam sebuah bahasan
pendidikan. Adalah bagaimana pendidikan dapat mencegah manusia berbuat hina
itu lebih penting dari sekedar mempermasalahkan sesuatu yang tidak akan membuat
celakanya manusia.Disinilah legitimasi pendidikan kritis yang
tidak hanya membatasi masalah pendidikan di ruang kelas yang
terbatas,
tetapi melihat masalah pendidikan dalam konteks yang lebih kompleks.Sehingga
pendidikan
kritis mampu menjadi sebuah alternatif wacana untuk dapat mengembalikan
pendidikan
ketujuan awal fitrah pendidikan.
*Penulis adalah Pecinta Kajian LKaP
0 Komentar