“Lahir ketika Indonesia masih
dijajah Belanda. Kakek dan bapakku orang pergerakan. Kakek anggota
Majelis Konstituante, bapak anggota DPRD. Gara-gara lingkungan rasanya
jalan hidupku terbentuk. Nyatanya, masih amat muda sudah aktif
berorganisasi. Masuk kepanduan mulai jadi kurcaci sampai jadi Komisaris
Latihan. Lalu masuk organisasi pelajar IPNU, bersama yang lain
mendirikan PMII, masuk Gerakan Pemuda Ansor, aktif di NU membangun
Lakpesdam dan jadi direkturnya selama 8 tahun. Jadi Bendahara PBNU. Jadi
pengurus PWI Pusat. Jadi anggota DPR-GR/MPRS dari Fraksi NU, jadi
anggota MPR-RI (Badan Pekerja) fraksi PPP. Ikut
mendirikan koran Pelita, jadi pemimpin perusahaan koran Pedoman, jadi
ombudsman majalah Pantau. Mulainya dulu ikut memimpin koran Duta
Masyarakat. Terakhir jadi Staf Khusus Wakil Presiden RI. Sekarang aktif
sebagai Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi MUI dan KIP3.
Menjelang usia 72 tahun sekarang ini, punya 8 cucu dari 4 anak 2 laki 2
perempuan. Melalui blog ini ingin mensyukuri usia lanjut dengan cara
berbagi pengalaman. Makanya akan senang sekali kalau orang-orang muda
mau bertegur sapa”.
Sumber: www.pmii.or.id
Cerita di atas adalah tulisan tentang
profil Said Budairy di blognya. Melalui tulisan tersebut Said Budairy
ingin menyampaikan pengalaman perjalanannya sebagai seorang
organisatoris. Dengan banyaknya organisasi, dimana Said terlibat
didalamnya. Maka tidak salah jika gelar Organisatoris sejati diberikan
kepadanya.
Di lingkungan aktivis Nahdlatul Ulama
(NU), H.M. Said Budairy bukanlah nama asing. Bersama Abdurahman Wahid,
Fahmdi D. Saefuddin, Mahbub Djuanadi dan lain-lain, namanya populer
sebagai salah seorang penggerak ‘Khittah NU 1926’ pada Muktamar NU di
Situbondo, Jawa Timur, Tahun 1984.
Tapi sebetulnya, sebagai aktivis NU,
nama H.M. Said Budairy sudah muncar sejak akhir tahun 1950-an. Ia ikut
aktif mendirikan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Awal tahun
1960-an, ikut berjuang mendirikan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII). Selain merupakan salah satu dari 13 deklarator berdirinya PMII.
Said juga lah, sosok pencipta lambang organisasi kemahasiswaan di
lingkungan NU yang berdiri 54 tahun silam.
Sebagai seorang organisatoris sejati,
semangatnya tidak pernah luntur hingga akhir hayatnya. Di usianya yang
sudah menginjak 73 tahun, Said masih bersedia datang di acara-acara
kecil. Sebagai Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi di Majlis Ulama
Indonesia (MUI), ia juga masih memimpin rapat-rapat.
Profil H.M Said Budairy memang profil
organisasi, terutama di NU. Namanya tidak pernah lepas dari jenjang
keorganisasi yang ada di NU. Mulai dari IPNU, PMII, GP. Anshor, hingga
di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Tapi, ia memang tidak pernah
menduduki posisi puncak. Di PBNU, jabatan tertingginya hanya sebagai
Wakil Bendahara (1984-1989). Semangatnya berorganisasi, membawanya ke
kursi DPR-GR/MPRS (1963-1971) di usia muda, wakil dari Partai NU.
Pak Said dikenal pekerja keras, ulet,
memperhatikan yang detail-detail. Oleh karena itulah, ia dijuluki ‘si
tukang organisasi’. Di PWI Pusat, ia pernah menjabat sebagai Ketua
Departemen Pendidikan/Agama (1963-1967), Wakil Sekretaris Jenderal
(1967-1970), dan Bendahara pada periode 1970-1973. Ia aktif juga di
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai Wakil Sekretaris
Jenderal (1973-1978).
Dan di Lembaga kajian dan pengembangan
sumber daya Manusia Nadlatul Ulama (Lakpesdam NU), Pak Said adalah nama
yang tidak boleh dilupakan dalam kesejarahan. Di sana ia menjabat
sebagai direktur dari tahun 1987 hingga 1995. Dengan segenap
kekurangannya, ia berhasil memapankan organisasi itu hingga kini. Tidak
banyak lembaga di NU yang eksis macam Lakpesdam, hingga ke
daerah-daerah.
Ada yang menggolongankan Pak Said
sebagai bagian kelompok konservatif di kalangan Nahdliyin. Ia misalnya
tidak suka dengan pernyataan Gus Dur bahwa NU itu Syiah kultural. Atau
ia masuk menjadi aktivis MUI dari tahun 1995 hingga akhir hayatnya,
padahal kalangan NU progresif rajin melancarkan kritikan tajam pada MUI.
Bahkan, Pak Said tetap memilih Partai Persatuan Pembangunan, meskipun
NU telah membikin Partai Kebangkitan Bangsa.
Ia menjadi menjadi jurnalis sejak muda,
sekolahnya pun tentang jurnalisme, yaitu di Perguruan Tinggi Jurnalistik
Jakarta. Tapi ia tidak pernah bekerja di media massa yang bersifat
‘umum’, kecuali di SK Pedoman (sebagai Pemimpin perusahaan, 1973-1974)
dan majalah Pantau (sebagai Ombudsman, 2001-2003). Selebihnya,
sebagai wartawan, ia hanya bekerja di koran di lingkungan NU atau Islam
pada umumnya. Sebut saja Duta Masyarakat, Pelita, Risalah, dan Warta NU.
Kedudukannya sebagai anggota Lembaga Sensor Film (1999-2003) adalah
representasi dari MUI.
“Saya tidak mau jauh-jauh dari ulama.
Saya ingin mati bersama mereka,” kata Pak Said pada suatu ketika dengan
mimik serius bahkan dengan mata berkaca-kaca. Pilihan ini bukan tanpa
resiko. Resiko yang mudah dibayangkan bekerja dengan ulama adalah tidak
mendapat gaji yang layak.
Di NU, Pak Said memang dikenal orang
yang sangat sederhana. Tidak punya supir pribadi, pakaiannya ala
kadaranya, dan rumahnya di Mampang tetap tak berhalaman, meski pernah
menjadi Staf Khusus Wakil Presiden Hamzah Haz.
Tapi, meskipun konservatif, Pak Said
tetaplah akomodatif. Ia juga bersedia menerima ide-ide baru. Terbukti
misalnya ia diterima di majalah Pantau, sebuah majalah dari
kelompok liberal. Bahkan Pak Said menduduki posisi bergengsi, yakni
Ombudsman. Di sana tiap bulan Pak Said menulis selama dua tahun.
Topiknya beragam, jurnalisme, penerbitan, penyiaran, periklanan, dan
lain-lain.
Pak Said juga dikenal sebagai orang tua
yang tidak suka merecoki anak-anak muda NU yang ‘nakal’. Pak Said lebih
suka diam saja. Di NU, sikap diam diartikan na’am (setuju).
Inilah salah satu yang banyak dipuji orang dari Pak Said. Ini tentu
berbeda dengan beberapa kiai di NU yang mudah mencap tidak sopan, mencap
liberal kepada anak muda yang kritis dan progresif.
Prof. H.M. Said Budairy wafat pada hari
Senin, 30 Nopember 2009. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah
Sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Kemudian dimakamkan di
pemakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.
Sumber: www.pmii.or.id
0 Komentar