“Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras dari
pada diatas bumi”
~Tan Malaka~
Sutan Datuk Ibrahim alias Tan Malaka
(selanjutnya disebut Tan), belakangan ini namanya muncul kembali dalam
perbincangan masyarakat Indonesia. Maklum, semenjak SK Presiden No. 53 tahun 1963
terkait gelar kepahlawananya yang diberikan oleh Presiden Soekarno, telah dicabut
oleh rezim orde baru pimpinan Soeharto, nyaris catatan sejarah pergerakan
bangsa Indonesia sama sekali tak menyentuh namanya. Bahkan hal-hal yang
sekiranya berbau Tan sengaja disembunyikan dan cenderung dimusnahkan, termasuk
juga karya-karya tulisanya. Lalu apa yang membuat Tan masih saja bisa
eksis ditengah-tengah masyarakat Indonesia hingga hari ini?
Tidak lain, karena hasil dari jerih perjuangan tanpa pamrih dan buah dari magnum
oppus pemikiranya. Bangsa ini pun tak bisa menafikan soal
kecerdasan Tan. Ia merupakan orang Indonesia pertama yang
berbicara mengenai gagasan tentang konsepsi republik Indonesia yang ia tuliskan
menjadi buku “Naar de Republik Indon esia”
pada tahun 1925. Inilah yang kemudian menginspirasi tokoh-tokoh macam Bung
Karno, Bung Hatta dan Sjahrir dalam membangun tatanan kenegaraan Indonesia
setelah proklamasi 1945.
Selain buku Naar de Republik Indonesia,
ada juga Matrealisme, Dialektika, dan Logika (Madilog) yang menurut
majalah TEMPO menjadi salah satu buku yang berpengaruh dan berkonstribusi besar terhadap gagasan kebangsaan. Buku ini merupakan hasil dari kegelisahan Tan melihat
kondisi masyarakat Indonesia saat itu, yang dirasa masih terbelakang dalam hal
ilmu dan pengetahuan.
Bagi Tan, meski kekuatan proletar mesin dan
tanah di Indonesia dirasa sudah cukup kuat untuk melawan imprealisme Belanda.
Tetapi bekal pendidikan bagi kesadaran diri dalam perjuangan kelas yang
didapatkanya masih kurang untuk memahami persoalan dunia (Weltanschauung)
(Madilog:17). Mendasari hal ini, Tan kemudian berinisiatif menyusun Madilog
sebagai stimulus cara berpikir dan asupan pengetahuan bagi bangsa Indonesia
sebagai bekal mendapatkan kemerdekaan yang sesungguhnya (Merdeka 100%).
Dua buku monumental tersebut menjadi bukti
kuat untuk menggambarkan hidup Tan sebagai sosok yang akrab dengan dunia baca
dan tulis. Maka tak mengherankan jika
karya-karya tulisannya kaya akan pustaka. ketika membaca karya-karya Tan, kita
dibuat kagum bagaimana Tan mampu menghadirkan pemikiran tokoh-tokoh dunia
seperti Karl Marx, Antonio Gramsci, Mahatma Gandhi dan masih banyak lainnya
menjadi lebih sederhana untuk bisa dipahami.
Bahkan kecerdasan Tan dipelbagai bukunya, ia
tunjukan melalui kemampuannya dalam memberikan ulasan dan analisa tentang
kondisi atau situasi Internasional yang sedang terjadi saat itu. Kemudian
menjadi pijakan dalam menyusun butir-butir isi yang akan dibuat agar sesuai
dengan kebutuhan perjuangan rakyat Indonesia.
Jelas ini merupakan strategi Tan, agar pembaca
saat itu yang notabene adalah pejuang Indonesia mampu mengambil langkah
strategis untuk arah perjuangan Indonesia dan tentunya agar mereka juga bisa
update perihal gerakan revolusi di luar Indonesia. Tan tahu betul
bahwa situasi koloni di dalam negeri membuat segala hal yang berbau subversif
mendapat pengamanan ketat. Ini yang menjadi keprihatinan Tan selama dalam
pelarian dan pengasingan.
Buku: Kawan Pengembaraan
Saat berada di Tiongkok pada tahun 1925 Tan
menulis Naar de Republik Indonesia. Bulan Januari 1926 ia menulis Semangat Muda di
Tokyo (Jepang). Pada tahun yang sama pula (1926) di Singapura menuliskan Aksi Massa. Gambaran karya-karya Tan tersebut, mewakili
bagaimana kisah hidupnya yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, satu
negara ke negara lain bahkan satu benua ke benua lain. Dianggap sebagai orang
yang berbahaya bagi pemerintah kolonial Belanda dan Jepang hingga organisasi
yang ia naungi yaitu komunis internasional.
Dalam kondisi demikian, tentu membuat Tan jauh
dari orang-orang yang ia cintai dan kenali. Jauh dari keluarga, sanak saudara
dan kawan-kawannya selama pelarian membuat Tan sebagai pribadi yang kesepian.
Sebagai pelampiasannya Tan kemudian memilih pustaka buku sebagai sahabat
pengembaraannya. Memilih buku sebagai sahabat, sudah pasti ada alasan
tersendiri bagi Tan. Baginya, seseorang yang hidup dengan pikiran yang mesti
disebarkan, baik dengan pena maupun dengan mulut, perlulah pustaka yang cukup. Ia
mengibaratkan pentingnya pustaka, seperti halnya semen dan batu tembok untuk
membangun gedung (Madilog: 18).
Sebegitu penting pustaka buku bagi Tan,
sekalipun ia sering mendapat cobaan yang membuatnya kecewa, karena buku
pustakanya hilang dan dirampas paksa oleh Lalilong (tukang copet)
sehingga ia tak bisa dibawa dan disimpanya lama-lama. Misalnya saja, ketika di Tiongkok ia harus merelakan pustaka bukunya dijarah habis tanpa
sisa oleh dai Nippon (tentara Jepang). Tak hanya itu, di Singapura untuk
melindungi bukunya, sampai-sampai ia menyembunyikan buku Das Capital-nya
Karl Marx yang dipinjam dari “Raffles
Library” di sebuah empang milik seorang warga bernama Tan Kin Can.
Bukanlah Tan
Malaka, jika ia menyerah dan putus asa begitu saja. Maksud baik untuk
memberikan asupan pengetahuan sebagai pedoman buat perjuangan bangsa Indonesia
melalui karya catatannya, membuatnya semakin bertekad untuk memperkaya daftar pustaka yang ia miliki. Tan bilang “Selama toko
buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang
perlu, pakaian dan makanan dikurangi” (Madilog: 20). Saking cintanya Tan
akan pengetahuan, ia ciptakan metode khusus agar tak kehilangan maksud atau isi
dari buku-buku pustakanya. Metode itu ia namai “Jembatan Keledai” sebuah perkataan yang bukan perkataan, begitu Tan menyebutnya.
Biasanya cara ini digunakan untuk meringkas dan menangkap suatu pengetahuan
dengan pengistilahan tertentu.
Tan menyontohkan untuk menjawab persoalan kekuatan sebuah negara
dalam perang , ia cukup menggunakan istilah “AFIAGUMMI”. huruf A pertama
maksudnya ialah Armament artinya, kekuatan udara, darat dan laut. sedang
huruf F merujuk pada Finance atau keuangan (Madilog:24). Tan menganggap jembatan
keledai penting untuk pelajar sekolah dan penting lagi untuk seorang pemberontak
pelarian seperti dirinya. Sayang, hingga akhir hayatnya ia belum menuntaskan niatnya untuk menulis
tentang Jembatan Keledai.
Madilog, Naar de Republik, Aksi Massa,
Semangat Muda, SI Semarang and Onderwijs dan buku-buku Tan lainnya yang hari ini bisa kita baca, menjadi saksi bagaimana Tan memposisikan
pustaka buku bagi dirinya dan bangsanya. Sekalipun karyanya menginspirasi tokoh-tokoh
pergerakan dan disebut sebagai buku yang berpengaruh untuk kemerdekaan
Indonesia, Tan tak jumawa, tak sombong dan ia masih rendah hati. Baginya
seorang pahlawan sejati ialah mereka yang siap menghadapi ketidakpopuleran,
sekalipun dihadapan bangsa yang diperjuangkanya.
*Penulis adalah Dedy Apriliant,
Direktur Lembaga Kajian dan Penerbitan
(LKaP) PMII Abdurrahman Wahid 2017-2018
Direktur Lembaga Kajian dan Penerbitan
(LKaP) PMII Abdurrahman Wahid 2017-2018
0 Komentar