Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memutuskan membuka sekolah atau kegiatan belajar tatap muka di seluruh zona risiko virus corona mulai Januari 2021. Hal ini menjadi angin segar bagi orang tua siswa tentunya, tapi di lain sisi keputusan Menteri ini menjadi momok bagi orang tua siswa, mengingat kasus COVID-19 masih merajalela dan sekolah dapat menjadi salah satu klaster penyebaran virus tersebut. Nadiem mengatakan keputusan pembukaan sekolah akan diberikan kepada tiga pihak yaitu, pemerintah daerah, kantor wilayah (kanwil), dan orang tua melalui komite sekolah. Hal ini mengundang banyak perbincangan yang ramai dari orang tua maupun pelajar yang menanggapi tentang keputusan Nadiem tersebut. Banyak juga yang menganggap keputusan Nadiem tersebut sudah tepat dan layak untuk di laksanakan di 2021 untuk melaksanakan sekolah tatap muka, namun ada juga yang menanggapi bahwa keputusan pembukaan sekolah lagi tidak efektif mengingat masih mewabahnya dan meningkatnya COVID-19di Indonesia saat ini.
Beberapa orang beranggapan jika sekolah dibuka kembali nanti di 2021, angka penyebaran corona meningkat dan penyebaran terbanyak otomatis di sekolah sehingga akan lebih baik sekolah di tutup kembali dan kembali sekolah daring. Ini menjadi perhatian penting nantinya yang harus diperhatikan dengan matang sekali, kesalahan dalam mengambil langkah yang tepat akan menimbulkan resiko yang fatal nantinya. Namun jika pembelajaran masih dilakukan dengan jarak jauh kembali juga menimbulkan dampak negatif, beberapa hal seperti kendala tumbuh kembang anak yang membuat anak cenderung hanya berpaku pada HP saja dan tidak tumbuh dengan lingkungannya, kondisi mental karena selalu ditekan tugas yang menumpuk dan kesehatan mata anak akan terganggu akibat selalu fokus melihat layar gawai. Kemudian tekanan psiko sosial yang menyebabkan anak-anak akan cepat stres di usia muda, dan kekerasan yang tidak terdeteksi, kemudian ancaman putus sekolah karena tidak semua anak yang mampu untuk membeli hp atau alat penunjang belajar jarak jauh serta keberadaan akses jaringan internet yang tidak memadai setiap daerah, yang menyebabkan beberapa siswa harus menempuh perjalanan jauh untuk melakukan sekolah daring.
Namun jika sekolah diizinkan kembali dibuka, tingkat risiko penularan COVID-19 akan semakin meningkat dengan cepat. Penerapan protokol kesehatan yang nantinya tidak bisa terealisasi dengan benar karena anak-anak cenderung lebih senang untuk bergerak bebas dan abai terhadap protokol kesehatan. Selain itu, sifat malas yang muncul karena terbiasa dengan suasana di rumah, kondisi psikososial siswa yang cenderung sudah terbiasa untuk bertatapan dengan gawai sendiri sehingga timbul rasa malas maupun minder untuk bergaul dengan teman sebayanya. Namun, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan bahwa memperbolehkan sekolah tatap muka kembali bukan mewajibkan. Nadiem menegaskan keputusan ada pada tiga elemen yang ditetapkan tadi, pertimbangan baik buruknya kembali sekolah tatap muka di serahkan penuh ke pemerintah daerah, kantor wilayah dan orang tua melalui komite sekolah. Karena mengingat zonasi tidak lagi menjadi patokan untuk kembali melaksanakan pembelajaran tatap muka. Jika daerah tersebut sudah dirasa aman dari penyebaran virus corona sehingga tidak menimbulkan masalah baru seperti nantinya setelah sekolah di buka langsung positif corona dan sekolah kembali ditutup dan pembelajaran dilakukan secara daring. Dengan begitu perlu pertimbangan yang matang dan beberapa hal untuk melaksanakan sekolah tatap muka dengan benar menunggu situasi dan kondisi pandemi virus ini stabil dan normal lagi, atau melaksanakan sekolah tatap muka kembali, mengingat selama ini proses belajar anak tidak menentu dan cenderung siswa tidak paham dan melaksanakan sekolah daring dengan sungguh-sungguh, karena pelajaran yang disampaikan tidak dimengerti atau pun hal lainnya.
Pro Belajar Tatap Muka di Sekolah
Kami mengumpulkan argumen yang mendukung dibukanya sekolah pada semester mendatang. Sebagian poinnya disampaikan saat konferensi pers pengumuman belajar tatap muka Januari 2021 (20/11) oleh Nadiem Makarim beserta perwakilan Kementerian terkait lainnya. Sisi pro untuk sekolah tatap muka adalah karena dampak pembelajaran jarak jauh yang menimbulkan:
Kesenjangan tajam antar sekolah
Banyak daerah, sekolah, dan keluarga yang belum bisa mengoptimalkan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Contoh kasus, koneksi internet dan perangkat yang terbatas dan materi belajar yang tidak memadai. Bahkan ada juga, pelajar yang harus belajar di pinggir jalan di desannya agar dapat menangkap koneksi internet. Di sisi lain ada beberapa sekolah yang memiliki kemampuan tinggi dan fasilitas superlengkap, apalagi yang di kota besar. Alhasil, kesenjangan pembelajaran berasa banget.
Risiko learning lost
Selama PJJ, kegiatan belajar jadi kurang maksimal. Banyak ditemui pelajar yang belajar dengan sungguh-sungguh, belajar ala kadarnya, an lebih parahnya ada juga yang menghabiskan waktunya untuk main-main saja. Karena hal ini berlangsung dalam jangka waktu yang sangat panjang, maka dikhawatirkan akan menghambat perkembangan karakter serta kemampuan berpikir anak.
Angka putus sekolah tinggi
Persoalan ini sempat disinggung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Nadiem menyoroti turunnya angka keikutsertaan di sekolah, terutama di tingkat PAUD. Karena belajar dari rumah, banyak keluarga yang memutuskan menunda memasukkan anak mereka ke sekolah.
Peran sekolah kurang terlihat
Ada orang tua yang menilai pihak sekolah kurang berperan dalam pendidikan anak di masa PJJ. Sebagian dari mereka bahkan merasa keberatan untuk membayar uang sekolah. Hal ini bisa menimbulkan konflik antara pihak ortu dan sekolah.
Kejenuhan yang memicu stress pada pelajar
Hampir setahun nggak bisa bertatap muka dan berinteraksi langsung dengan teman dan guru di sekolah membuat pelajar menjadi stress. Ditambah lagi, hampir semua aktivitas dilakukan di rumah.
Stress karena tugas yang banyak
Poin lain yang membuat sebagian pelajar stress adalah banyaknya tugas selama Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Memberikan tugas dan proyek merupakan salah satu cara belajar. Namun di masa PJJ beban terasa berat, karena tidak ada kerja kelompok, atau praktik di sekolah. Seolah semua menumpuk menjadi tugas yang nggak ada habisnya. Tidak semua merasakannya, namun memang tak sedikit pelajar yang merasa overload dengan rangkaian tugas.
Mengalami kekerasan
Ada beberapa kasus kekerasan pada anak di masa PJJ. Mungkin bukan kekerasan fisik namun kekerasan verbal. Bisa saja ada orang tua atau kakak yang emosi dan membentak setelah pusing harus menjadi “guru” di rumah. Banyak juga konflik karena mama/papa merasa anaknya kurang serius belajar di masa pandemi ini. Familiar dengan keadaan ini? Di sisi lain orang tua/kakak juga terpengaruh dengan kondisi PJJ, di mana mereka harus ikutan aktif mengajari atau mengawasimu. Padahal mereka juga punya pekerjaan atau tanggung jawab lain. Nah, efek negatif yang dipaparkan di atas dipercaya akan memburuk jika pembelajaran jarak jauh tanpa tatap muka terus dilakukan.
Kontra Belajar Tatap Muka
Setelah membaca poin di atas, masuk sekolah alias belajar tatap muka sepertinya merupakan solusi terbaik bukan? Namun, jangan dulu mengambil kesimpulan sebelum kamu menyimak argumen kontra berikut ini.
Kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat
Ya, trend kasus di Indonesia sejauh ini cenderung meningkat. Per 24 November konfirmasi positif covid-19 bertambah sebanyak 4.192 orang, menjadi 506.302 kasus. Sementara yang meninggal dunia 16.111 jiwa. Kalau dilihat dari data ini, bisa dibilang bahwa pandemi belum mereda. Sekolah tatap muka bisa meningkatkan peluang seseorang tertular virus corona, ketimbang belajar jarak jauh dari rumah. Mengutip laman berita BBC, menurut Dicky Budiman, epidemolog dari Griffith University Australia, keputusan mulai membuka sekolah untuk pembelajaran tatap muka pada Januari 2021 tidak lah tepat. Sebab tingkat penularan di Indonesia masih sekitar 10 persen. Tambahan lagi, menurut saran WHO, suatu negara baru bisa melakukan pelonggaran kegiatan jika positivity rate alias tingkat penularan di bawah 5 persen.
Belum ada terobosan penanganan dan penemuan baru
Saat ini semua pihak, terutama tenaga kesehatan, relawan, serta para ilmuan bekerja keras untuk mengatasi pandemi. Namun hingga kini, memang belum ada terobosan besar, seperti vaksin atau tanda virusnya akan melemah. Sebaliknya, jika kasus Covid-19 membludak, risikonya tinggi sekali. Rumah sakit akan penuh dan tenaga medis pun makin terkuras, bahkan dikhawatirkan akan kurang. Dengan kondisi demikian, perlu dipertimbangkan mengenai keputusan untuk sekolah tatap muka. Pihak IDI sendiri menolak kebijkan masuk sekolah tatap muka Januari 2021. IDI menyarankan agar pemerintah menunggu vaksin terlebih dahulu. IDI memperkirakan sekolah baru bisa dibuka untuk belajar tatap muka pada pertengahan 2021 mendatang.
Sudut pandang pemerintah daerah bisa berbeda
Keputusan dibuka (belajar tatap muka) atau tidaknya sekolah akan diserahkan pada Pemda atau Kantor Wilayah. Jadi bukan lagi ditentukan oleh satuan tugas penanganan Covid-19. Nah, pertimbangan tiap pemerintah daerah bisa berbeda-beda, dan bisa jadi pertimbangan kesehatan harus dikompromikan. .
Kemungkinan pelanggaran protokol kesehatan dan pengawasan yang minim
Ada serangkaian aturan dan protokol kesehatan yang harus diterapkan saat sekolah tatap muka. Namun, peluang pelanggarannya sangat besar. Apalagi, fungsi pengawasan belum tentu bisa dilakukan seratus persen. Masih banyak celah yang tidak terhindarkan, seperti interaksi saat pergantian guru atau ketika keluar kelas, ada warga sekolah yang nggak pakai masker dengan benar, hingga ada siswa yang harus naik kendaraan umum padat penumpang.
Penulis : Naila Silmi Kaffah
Editor : Finata
Ilustrasi : EL Huda
0 Komentar