Gambar pexels |
Sayyidah Khadijah binti Khuwailid adalah
istri pertama dan paling dicintai Rasulullah SAW. Rasulullah
SAW. menikah
dengannya saat berusia 25 tahun, sedangkan usia Khadijah adalah 40 tahun. Rasulullah SAW. tinggal bersamanya
dengan penuh kebahagiaan selama 25 tahun, hingga ajal menjemputnya pada usia 65
tahun. Khadijah wafat pada bulan
Ramadhan tahun ke-10 kenabian atau tiga tahun sebelum terjadi peristiwa
hijriah, dimana pada saat itu usia Rasulullah SAW. 50 tahun.
Khadijah adalah manusia pertama yang beriman pada kerasulan Nabi Muhammad SAW.
Beliau manusia pertama yang memeluk Islam. Khadijah
teman sejati Rasulullah
SAW. di kala suka dan duka. Khadijah memberikan kasih sayang seorang ibu kepada Rasulullah SAW., dimana hal tersebut adalah
sesuatu yang tidak rasul dapatkan sewaktu kecil. Rasulullah SAW. memperoleh perhatian yang luar biasa dari Khadijah saat mejalankan tugas dakwah. Khadijah telah berhasil meneguhkan jiwa Rasulullah SAW. yang sempat timbul kebimbangan. Pada masa itu, beliau begitu
membutuhkan motivasi.
Ketika Khadijah
wafat, Rasulullah
SAW. tidak pernah larut dalam kesedihan melebihi hari itu.
Beliau tidak pernah terngiang-ngiang sosok seseorang setelah kematiannya
melebihi Khadijah. Bahkan, beliau benar-benar merasakan
sulitnya hidup dalam kesepian karena ditinggalkan oleh Khadijah.
Hal itulah yang membuat para sahabat turut berduka.
Hingga kemudian datanglah Sayyidah Khaulah
binti Hakim,
istri Utsman
bin Mazh’un – seorang
tokoh kalang sahabat yang meninggal pada tahun dua hijriah datang
kepada Rasulullah
SAW. dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Anda tidak ingin menikah?”
Beliau balik bertanya, “Dengan siapa?”
Khaulah menjawab, “Terserah Anda, mau yang perawan atau janda”
Rasulullah SAW. bertanya, “Siapa yang perawan dan siapa yang janda?”
“Yang janda adalah Saudah binti Zam’ah, sedangkan yang perawan adalah putri dari orang
yang paling engkau cintai, Aisyah
binti Abu Bakar Ash-Shiddiq,” jawab Khaulah.
Maka Rasulullah
SAW. mengatakan, “Tolong sampaikan lamaranku kepadanya!”
Mendengar jawaban Rasulullah SAW., Khaulah segera pergi ke rumah Abu Bakar
dan menyampaikan pinangan Rasulullah
SAW. kepadanya. Pada masa jahiliah, orang-orang tidak diperbolehkan menikah putri teman terikat ta’akhi (perjanjian persaudaraan). Mereka
menganggap ikatan persaudaraan menyebabkan haramnya besanan, sebagaimana saudara kandung. Oleh sebab itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Apakah boleh menikah dengannya?, bukankah dia anak
saudaranya?”
Khaula pun menemui Rasulullah SAW. dan menyampaikan permasalahannya. Beliau mengatakan, “Pergilah!, katakan pada Abu Bakar, dia adalah saudaraku seagama, bukan sedarah, dan
putrinya halal untukku nikahi,” Akhirnya Abu Bakar pun menerima Rasulullah SAW.
Sebelum dilamar oleh Rasulullah SAW., Aisyah
telah terlebih dahulu dilamar oleh Jubair bin Muth’im bin’Adi. Oleh sebab itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak berani membatalkan lamaran tersebut sebelum membicarakannya
dengan keluarga Jubair.
Abu Bakar
pun menemui ayah Jubair dan
mengutarakan keinginnya untuk membatalkan lamaran. Pada waktu itu, keluarga Jubair belum memeluk islam. Ayah Jubair bertanya
kepada istrinya, “Bagaimana menurutmu?,” Ibu Jubair menjawab, “Wahai Ibnu Abi Quhafah!, jika dia menjadi menantumu, pasti engkau akan memaksanya untuk
memeluk agamamu”
Aisyah r.a adalah seorang anak kecil sehingga kadang tingkah lakunya sering
menyebabkan ibunya merasa jengkel karena itulah sang ibu kadang memberi hukuman padanya.
Saat melihat hal tersebut, rasul menjadi sedih. Rasulullah SAW. mengatakan kepada
ibunya, “Wahai Ummu Ruman!
tolong perlakukan Aisyah sebaik-baiknya, jagalah dia
untukku”
Suatu ketika nabi masuk ke rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq,
kemudian melihat Aisyah bersembunyi
dibalik pintu sambil menangis sedih. Nabi pun bertanya kepadanya.
Kemudian Ummu Ruman menceritakan
bahwa Aisyah sangat manja. Mendengar
hal itu, kedua mata Rasulullah SAW. pun berlinangan
air mata, kemudian beliau menemui Ummu Ruman dan berkata, “Wahai Ummu Ruman,
bukankah saya sudah berpesan, tolong jaga Aisyah untukku,” Ummu Ruman menjawab, “Wahai Rasulullah SAW., dia menyampaikan kepada Abu Bakar tentang
rencana kita, sehingga Abu Bakar marah kepada
kita.” Maka Rasulullah
SAW. berkata, “Biarkan saja, meskipun dia melakukan hal itu.”
Aisyah r.a menikah pada usia enam tahun. Tujuan dari
pernikahan dini ini adalah untuk mengokohkan dan merekatkan hubungan antara ke-khilafah-an dan
kenabian. Selain itu, udara panas negeri Arab membuat wanita tumbuh dengan sangat cepat. Seseorang yang
mengantongi kemampuan otak yang luar biasa juga memiliki tingkat
perkembangan fisik yang sangat cepat.
Suatu istilah dalam bahasa inggris menyebutkannya “precocious” yang artinya cepat tumbuh atau cepat matang. Apapun
alasannya, persetujuan Rasulullah
SAW. untuk menikahi Aisyah
pada usia yang sangat dini merupakan bukti nyata atas kelebihan Aisyah yang memang telah terlihat menonjol sejak kecil. Kelebihan Aisyah, antara lain:
kecerdasan, kualitas hafalan, wawasan, aksioma,
dan keahliannya dalam menarik kesimpulan.
Ummu Athiyyah menceritakan kepada kita kisah pernikahan Aisyah dengan
Rasulullah
SAW. yang penuh dengan kesederhanaan. Dia menuturkan, “Pada saat Rasulullah SAW. meminang Aisyah binti Abu Bakar, dia masih anak-anak. Ibu yang
mengasuhnya datang menemuinya dan saat dia sedang asyik bermain, lalu mengajaknya
pulang ke rumah, mendadani dan memakaikan hijabnya, kemudian Abu Bakar menikahkannya dengan beliau.”
Demikianlah prosesi pernikahan Aisyah yang begitu sederhana. Peristiwa tersebut mengandung pelajaran berharga dan menjadi teladan bagi muslimah. Hari ini pernikahan justru menjadi ajang tabdzir yang menjadi tradisi yang kontradiktif dengan prinsip agama Islam yang penuh toleransi. Perhatikanlah ucapan Ummul Mukminim Sayyidah Aisyah, berikut ini “Waktu itu saya tidak tahu-menahu dan melarangku keluar. Saat itulah aku baru sadar kalau aku sudah menikah. Saya tidak menanyakan hal itu kepada ibuku, sampai dia sendiri yang memberitahukannya kepadaku.”
Penulis: Qudwati
0 Komentar