Ilustrasi hubungan konsep diri menurut islam dan psikologi: Wahyu |
Definisi Konsep Diri
Berpikir mengenai dirinya sendiri adalah aktivitas manusia yang tidak dapat
dihindari. Pada umumnya, secara harfiah orang akan berpusat pada dirinya
sendiri. Sehingga self (diri) adalah pusat dari dunia sosial
setiap orang. Sementara seperti yang telah kita ketahui, faktor genetik
memainkan sebuah peran terhadap identitas diri atau konsep diri. Dengan
mengamati diri sampailah pada gambaran dan penilaian diri, ini disebut konsep
diri.
Menurut Hurlock, konsep diri ialah konsep seseorang dari siapa dan apa dia
itu. Konsep ini merupakan bayangan cermin, ditentukan sebagian besar oleh peran
dan hubungan orang lain, apa yang kiranya reaksi orang terhadapnya. Konsep diri
ideal ialah gambaran mengenai penampilan dan kepribadian yang didambakannya.[4] William D. Brooks mendefinisikan konsep
diri sebagai “ Those psychical, social, and psychological perceptions of our
selves that we have derived from experiences and our interaction with other”.
Jadi konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri. Persepsi tentang
diri ini boleh bersifat psikologi, sosial, dan fisik. Konsep ini bukan hanya
gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian tentang diri. Jadi konsep diri
meliputi apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan tentang diri.[5]
Jadi konsep diri adalah kesadaran batin yang tetap mengenai pengalaman yang
berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku. Untuk
menunjukkan apakah konsep diri yang konkret sesuai atau terpisah dari perasaan
dan pengalaman organismik. Konsep diri merupakan pandangan kita mengenai siapa
diri kita dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang
lain kepada kita, melalui komunikasi dengan orang lain kita belajar bukan saja
mengenai siapa kita, namun juga bagaimana kita merasakan siapa kita.
Konsep Diri dalam Pandangan Islam
Secara bahasa dalam Islam, diri disebut sebagai “nafs” merupakan
dzat atau esensi yang menggambarkan diri memiliki kesatuan antara jiwa dan
raga. Menurut Ibnu Sina, nafs adalah kesempurnaan awal bagi
jasad hingga manusia mampu bergerak.[6] Sedangkan jasad adalah wujud kedua
sebagai alat yang memiliki tugas menjalankan aktivitas. Hal ini yang akhirnya
juga disepakati oleh Al-Kindi dan al-Farabi. Menurut Al-Ghazali esensi diri
adalah hubungan antara jasad yang dapat disadari dengan kasat mata (bashar)
dengan ruh serta nafs yang hanya dapat disadari adanya dengan
penglihatan mata hati (bashirah).[7] Maka jasad dan nafs merupakan
dua susunan yang berbeda dan saling membutuhkan. Meskipun begitu, peran jiwa
akan lebih dominan mempengaruhi jasad dan menghasilkan kesadaran diri.
Para ulama membidik konsep diri sebagai wawasan mengenai kesadaran dirinya
sendiri. Secara umum, pemikir Islam membuktikan kesadaran diri dan seluruh
bentuk spiritual manusia berpusat pada ruh. Hal ini yang membedakan konsep diri
Islam dengan konsep diri pada psikologi modern. Ruh ini yang akan menunjukkan
dan mengarahkan pada esensi yang satu yaitu, seorang hamba berperilaku.
Prosesnya substansi rohani pada diri akan memancar kepada raga dan
menghidupkannya lalu menjadikannya alat untuk mendapatkan pengetahuan dan ilmu,
sehingga dengan keduanya ia bisa menyempurnakan dirinya dan mengenal
penciptanya.
Struktur diri dalam Islam tidak sesederhana yang dimiliki psikologi modern,
dalam Islam diri atau yang disebut nafs memiliki struktur dari yang terendah
hingga sempurna. Ada nafs ammarah, yaitu nafsu yang condong pada
hal-hal yang bersifat fisik. Sumber perilaku sombong, ambisius, iri hati, dan
marah. Kemudian ada nafs lawwamah, yaitu nafs yang
menerangi jiwa dengan cahaya hati, tempat bermuara ambisi dan penyesalan.
Ditingkat atasnya ada nafs muthmainnah, adalah nafs yang
menerangi cahaya hati sehingga seorang individu terlepas dari sifat buruk.
Meningkat ke atas terdapat nafs mulhamah, pangkal kesabaran,
syukur, dan siap menerima beban ibadah, dan nafs ini yang akan mengantarkan
pada nafs radliyah. Hasil daripada kemuliaan dan
ketulusan terus mengingat Allah, ini yang dinamakan nafs Mardliyyah.
Puncak dari semuanya adalah nafs kamilah, kesempurnaan pengenalan
konsep diri.[8]
Pembahasan konsep diri dalam Islam selain mengukuhkan eksistensi diri juga
berarti mengukuhkan keimanan. Karena keimanan posisinya dalam kehidupan menjadi
pedoman dari perbuatan dan perilaku yang akan dilakukannya. Dalam diri jika
keimanan telah kokoh maka akan kokohlah jiwa dan raga manusia. Ini sama halnya
dengan gambaran sebuah bangunan, jika fondasinya kokoh, maka akan kuatlah
bangunannya.[9] Konsep diri sangat penting diperhatikan
karena cara berfikir dan berbicara seorang individu sangat dipengaruhi konsep
diri yang dibentuk. Konsep diri juga mempengaruhi cara melihat dunia luar dan
memperlakukan orang lain. Aktualisasi dari konsep diri akan menentukan pilihan
atas penerimaan dan pemberian kasih sayang. Konsep diri yang terintegrasi
dengan nilai agama akan mengantarkan seorang individu menjadi bijak ketika
mengambil keputusan maupun kebijakan bagi umat manusia berdasarkan dari sumber
kebenaran yang satu. Sehingga dirinya dapat menuntun dan dapat mencegah diri
dari perbuatan yang tidak baik atau melanggar norma-norma etika.[10]
Konsep Fitrah Diri Manusia
Definisi Fitrah
Makna Fitrah sangat beragam dikarenakan sudut pandang pemaknaannya
berbeda-beda. Secara etimologi kata fitrah berasal dari bahasa Arab fathara (فطر) ,dari masdar fathrun yang
berarti belah atau pecah. Dalam Al-Quran sendiri dapat ditemukan
penggunakan kata “fitrah” dengan makna al-insyiqaq atau al-syaqq yang
berarti pula pecah atau belah.[11]
Bila dicermati, kedua makna tersebut saling melengkapi. Makna al-insyiqaq kendati
digunakan untuk pemaknaan alam (al-Kaun), namun sebenarnya dapat
digunakan untuk manusia (al-khalqah al ijaad atau al-Ibda’,).
Oleh karena itu, proses penciptaan manusia melalui tahapan al-Insyiqaq dalam
arti pembelahan dan secara biologis manusia diciptakan menurut fitrahnya. Dari
makna ini kemudian lahir makna-makna lain, seperti perangai, tabiat, kejadian
asal, agama dan penciptaan. Artinya, fitrah ini bisa dimaknai dengan
menggambarkan konsep dasar atau hakikat struktur kepribadian atau menggambarkan
aktivitas, natur, watak, kondisi, dan mekanisme kepribadian.
Sementara definisi fitrah secara terminologi terdapat berbagai pengertian
dari beberapa tokoh. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Muhammad Arifin menjelaskan fitrah berarti kemampuan dasar[12] atau potensi dasar manusia yang dibawa
sejak lahir. Fitrah merupakan potensi dasar manusia yang mengandung komponen
psikologis yang satu sama lain saling terkait. Komponen-komponen itu meliputi:
(1) kemampuan dasar untuk beragama dan beribadah, (2) kemampuan dasar berupa
dorongan ingin tahu terhadap kebenaran, dan (3) kemampuan dasar berupa
daya-daya yang memungkinkan dirinya menjadi manusia yang mulia.
b. Menurut Ibnu Asyur yang dikutip oleh Quraisy Syihab, Fitrah
adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah pada
manusia adalah sesuatu yang diciptakan Allah yang berkaitan dengan jasmani dan
akalnya (serta ruhnya).[13]
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa fitrah adalah wujud suatu sistem (psiko-pisik)
yang terdapat pada manusia dan memiliki citra unik yang telah ada sejak
penciptaanya manusia. Artinya dalam diri manusia secara alami memiliki tabiat
dan watak yang berpotensi untuk mengarah dan menuju kepada penciptaannya,
sehingga aktualisasi dari fitrah tercermin dalam tingkah laku yang sesuai
dengan kehendak Sang Pencipta.
Fitrah Manusia Menurut Al-Qur’an
M. Quraish Shihab, dalam buku “Wawasan Al-Quran” mengemukakan bahwa dalam
Al-Quran, kata fitrah dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 78 kali, I4
diantaranya dalam konteks uraian tentang bumi dan langit. Sisanya dalam konteks
penciptaan manusia baik dari segi pengakuan bahwa manusia penciptanya adalah
Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia, sebagaimana dalam QS.
Al-Rum ayat 30.
Makna fitrah dapat dikelompokan menjadi dua kategori (1) al-Syaqq (pecah/belah)
yang ditujukan pada langit saja. Dan (2) al-Khilqah (penciptaan)
yang ditujukan pada manusia serta objek langit dan bumi. Sementara itu, fitrah
dalam pandangan Al-Quran memiliki beberapa dimensi. Dimensi-dimensi fitrah yang
dimaksud dalam hal ini adalah aspek-aspek yang terdapat pada fitrah manusia
yang memiliki banyak ragam. Keragaman ini disebabkan oleh sudut pandang yang
berbeda. Ada tiga dimensi manusia yang merupakan esensi dari penciptaannya atau
totalitasnya yaitu dimensi fisik, psikis, dan psikopisik atau dalam Islam yang
dikenal dengan fitrah jasmaniyyah (aljism), fitrah ruhaniyyah (al-ruh)
dan fitrah nafsiyyah (al-nafs).
Sebuah Konklusi
Berdasarkan uraian di atas, psikologi modern telah berusaha keras
memecahkan persoalan pendefinisian diri, pembentukan diri imajiner, serta
bagaimana manusia hidup menjaga eksistensinya. Namun, ternyata identitas dan
perilaku serta emosi yang membentuk konsep diri dalam psikologi modern banyak
yang bertentangan dengan konsep-konsep kunci worldview Islam.
Hal ini perlu menjadi perhatian bersama tidak hanya di kalangan para psikolog
dan seluruh individu perlu tahu akan hal ini agar tidak menyimpang dari rule keagamaan.
Diri bukan sekedar pemenuhan keinginan libido seperti yang terdapat dalam
psiko analisis diri bukan sekedar hidup menyesuaikan lingkungan seperti prinsip
behaviorisme, dan diri bukan centered of relatedness seperti
pandangan humanisme. Karena gambaran konsep diri tersebut mengandung sifat
antroposentris dan netral etik, yakni menuntut manusia secara berlebihan untuk
menyesuaikan diri, tanpa mengindahkan kesadaran keagamaan. Dan jelas hal ini
bertentangan dengan konsep dasar manusia yang memiliki ruh, fitrah, dan qalbun.
Dalam Islam konsep diri adalah yang terintegrasikan nilai-nilai religius
dalam bercermin dan penggambaran diri. Konsep diri yang mengantarkan seorang
individu untuk mengenal perannya dan kedudukannya. Strukturnya begitu sempurna
dari nafs ammarah, yaitu nafsu yang condong pada hal-hal yang
bersifat fisik. Sumber perilaku sombong, ambisius, iri hati, dan marah.
Kemudian nafs lawwamah ditingkat atasnya ada nafs
muthmainnah, meningkat keatas terdapat nafs mulhamah, pangkal
kesabaran, syukur, dan siap menerima beban ibadah, dan nafs ini yang akan
mengantarkan pada nafs radliyah. Hasil daripada kemuliaan dan
ketulusan terus mengingat Allah, ini yang dinamakan nafs mardliyah,
nafs kamilah. Peran yang tak sekedar aktualisasi diri di dunia tapi juga
untuk akhirat. Sehingga setiap individu akan berkorelasi pada peningkatan
kesejahteraan yang seimbang antara lahir dan batin.
DAFTAR PUSTAKA
Prof . DR. Nina W. Syam,
M.S, (2012). Psikologi Sosial Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media.
Soemanto,
Wasty. Psikologi Pendidikan, (1990). Jakarta:. Rineka Cipta,
Prayitno,
Elida. (2002). Psikologi Perkembangan Remaja. Padang: Jurusan Bimbingan
Konseling FIP UNP. Cetakan 1.
Hurlock.
B. (2005). Psikologi Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
J,
Rahmat. (2007). Psikologi Komunikasi Remaja, Bandung: Rosdakarya.
Ibnu
Sina(1975). Al-Syifā’; Al-Ṭabī’yyah. Kairo: Haiah Misriyyah al-‘Aammah li
al-Kitābah.Al-Ghazali, Ihyā’ ‘Ulum al-dīn, juz 3.
Asmani,
Jamal Ma’mur.. (2014). Agar Hati Tidak Keras. Quanta.
Taufiq,
Muhammad Izzudin. (2006). Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam. Jakarta:
Gema Insani
Daulay,
Nurussakinah. (2014). Pengantar Psikologi dan Pandangan Al-Qur’an Tentang
Psikologi. Jakarta: Kencana.
Yunus,
Mahmud. (1973). Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan
Penerjemahan dan Tafsir Al-Qur’an.
Arifin,
Muhammad. (1996). Ilmu Pendidikan, Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Shihab,
Muhammad Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
SITASI:
[1] Prof . DR.
Nina W. Syam, M.S, Psikologi Sosial Sebagai Akar Ilmu Komunikasi(Bandung :
Simbiosa Rekatama Media 2012) hal 55.
[2] Wasty
Soemanto, Psikologi Pendidikan (Jakarta. Rineka Cipta,1990) hal 185.
[3] Elida
Prayitno Psikologi Perkembangan Remaja (Padang : Jurusan Bimbingan Konseling
FIP UNP.2002 Cet 1) hal 118.
[4] Hurlock. B,
“psikologi Perkembangan Anak Jilid 2, Erlangga, Jakarta, 2005. Hal 237
[5] Rahmat.J,
psikologi Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007. Hal 99-100
[6] Ibnu Sina,
al-Syifā’; Al-Ṭabī’yyah, (Kairo: Haiah Misriyyah al-‘Aammah li
al-Kitābah,1975), Hal 11-12.
[7] Al-Ghazali,
Ihyā’ ‘Ulum al-dīn, juz 3, Hal 49.
[8] Jamal Ma’mur
Asmani, Agar Hati Tidak Keras, (Quanta, 2014) hlm. 83-84
[9] Muhammad
Izzudin Taufiq, Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam. hlm.450
[10] Nurussakinah
Daulay, M. Psi, Pengantar Psikologi dan Pandangan Al-Qur’an Tentang Psikologi,
(Jakarta: Kencana, 2014) hlm. 100
[11] Mahmud
Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan
Penerjemahan dan Tafsir Al-Qur’an, 1973), 319
[12] Muhammad
Arifin, Ilmu Pendidikan, Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 82
[13] Muhammad
Quraish shihab Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati,
2007), 287
0 Komentar