ilustrasi by DALL·E


 Pendahuluan 

Kaderisasi adalah pilar utama bagi organisasi berbasis keanggotaan, baik dalam partai politik, organisasi kemasyarakatan, maupun komunitas lainnya. Proses ini tidak hanya melahirkan pemimpin yang kompeten, tetapi juga menciptakan kesinambungan nilai-nilai yang dijunjung oleh organisasi tersebut. Namun, ketika sebuah organisasi yang mengaku berbasis kaderisasi lebih memilih rekrutmen terbuka untuk mengisi posisi penting, muncul pertanyaan mendasar: Apakah sistem kaderisasi telah gagal? Atau ini adalah bentuk nyata dari ketidakpercayaan terhadap kader internal? 

Fenomena ini mengingatkan kita pada apa yang dikatakan oleh Max Weber tentang organisasi formal. Ia menyebut bahwa organisasi yang sehat adalah organisasi yang mampu mencetak pemimpin dari dalam melalui mekanisme birokrasi yang mapan. Ketika organisasi lebih bergantung pada sumber daya luar, ini mencerminkan krisis internal. 

 Kaderisasi: Antara Jargon dan Realitas 

Kaderisasi sering disebut sebagai proses esensial dalam organisasi berbasis keanggotaan. Melalui kaderisasi, individu diharapkan tidak hanya memahami visi-misi organisasi, tetapi juga menjadi bagian integral dari budaya dan identitas organisasi tersebut. Namun, realitas sering kali berbicara lain. Banyak organisasi yang dengan bangga mengklaim memiliki sistem kaderisasi yang kuat, tetapi pada kenyataannya mereka justru mengandalkan rekrutmen terbuka untuk mengisi posisi strategis. 

Rensis Likert (1967) dalam teorinya tentang dinamika organisasi menegaskan bahwa loyalitas anggota terhadap organisasi serta kepercayaan pada sistem internal adalah indikator keberhasilan sebuah organisasi. Kaderisasi, dalam konteks ini, bukan sekadar proses formal, melainkan mekanisme utama untuk membangun kepercayaan terhadap kemampuan kolektif organisasi. Ketika organisasi lebih memilih untuk “belanja” sumber daya manusia dari luar melalui open recruitment, ini mengindikasikan adanya krisis kepercayaan terhadap hasil kaderisasi yang selama ini diagung-agungkan.

Lebih jauh, John P. Kotter dalam bukunya Leading Change menyoroti bahwa “Jika suatu organisasi tidak mampu menghasilkan pemimpin dari dalam, maka organisasi tersebut akan terus berada dalam siklus stagnasi.” Siklus stagnasi ini terjadi karena organisasi kehilangan kemampuan untuk meregenerasi kepemimpinan yang sejalan dengan nilai-nilai internalnya. Rekrutmen terbuka mungkin membawa individu-individu dengan keahlian teknis yang baik, tetapi tanpa pemahaman yang mendalam tentang budaya organisasi, mereka hanya menjadi roda penggerak yang bekerja tanpa arah. 

Ironisnya, keputusan untuk mengandalkan rekrutmen terbuka sering kali dikemas dengan jargon keterbukaan dan meritokrasi. Padahal, langkah ini justru menyiratkan lemahnya fondasi organisasi. Jika kaderisasi memang menjadi pilar utama organisasi, mengapa ia tidak mampu melahirkan kader-kader yang siap mengisi posisi strategis? Pertanyaan ini tidak hanya menggugah, tetapi juga membuka ruang refleksi yang mendalam: apakah kaderisasi yang selama ini dilakukan hanya menjadi retorika kosong? 

Lebih penting lagi, hal ini menimbulkan ketimpangan antara narasi dan praktik. Di satu sisi, organisasi terus membanggakan sistem kaderisasi yang diklaim matang. Namun di sisi lain, keputusan untuk membuka rekrutmen kepada pihak luar menunjukkan bahwa organisasi tidak yakin pada hasil proses internalnya sendiri. Hal ini bukan hanya bentuk inkonsistensi, tetapi juga sinyal kegagalan yang serius. 

Dalam kerangka organisasi, kaderisasi adalah tentang kesinambungan, kesetiaan, dan penguatan nilai. Ketika organisasi mulai mengabaikan produk kaderisasi internalnya, yang tersisa hanyalah simbol tanpa substansi. Oleh karena itu, keputusan untuk lebih mengandalkan rekrutmen terbuka seharusnya tidak hanya menjadi bahan evaluasi kebijakan, tetapi juga cermin refleksi mendalam tentang apa sebenarnya yang salah dalam sistem kaderisasi tersebut. 

 Narasi Kaderisasi: Antara Simbol dan Realitas 

Dalam organisasi, kaderisasi kerap menjadi salah satu narasi utama yang diunggulkan. Proses ini sering digambarkan sebagai mekanisme unggul untuk melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas yang tidak hanya memahami nilai-nilai organisasi, tetapi juga memiliki komitmen untuk memperjuangkannya. Namun, realitas tidak selalu sejalan dengan narasi tersebut. Kebijakan open recruitment yang diterapkan untuk mengisi posisi strategis menunjukkan ketimpangan nyata antara apa yang diklaim dan apa yang sebenarnya terjadi. 

Ketua eksekutif yang berasal dari kaderisasi internal sering kali dianggap sebagai bukti keberhasilan sistem tersebut. Namun, jika pengisian posisi strategis lainnya lebih banyak bergantung pada individu yang direkrut dari luar, maka hal ini menimbulkan pertanyaan serius: Apakah kaderisasi benar-benar menghasilkan kader yang layak dipercaya, ataukah hanya menjadi formalitas yang berhenti pada tahap retorika? Ketimpangan ini mencerminkan keraguan internal terhadap efektivitas sistem kaderisasi yang selama ini digadang-gadang sebagai fondasi organisasi. 

Pierre Bourdieu, dalam teorinya tentang modal simbolik, menyebutkan bahwa struktur organisasi mencerminkan distribusi kekuasaan dan nilai yang dijunjung di dalamnya. Ketika sebuah organisasi mengabaikan kader internalnya dan lebih memilih sumber daya eksternal, hal ini menunjukkan bahwa modal simbolik yang dibangun melalui kaderisasi sebenarnya tidak memiliki pondasi yang kokoh. Dengan kata lain, narasi kaderisasi hanya menjadi simbol yang terlihat megah di permukaan, tetapi rapuh di dalam. 

Ketergantungan pada rekrutmen eksternal juga memunculkan risiko terhadap legitimasi organisasi. Publik maupun anggota internal mungkin mulai meragukan konsistensi organisasi dalam menjalankan nilai-nilai yang mereka propagandakan. Seperti yang dijelaskan oleh Bourdieu, modal simbolik tidak hanya mencerminkan posisi organisasi di mata publik, tetapi juga menjadi alat untuk mempertahankan dominasi internal. Ketika organisasi gagal memberikan tempat strategis kepada kadernya sendiri, mereka kehilangan kemampuan untuk memanfaatkan modal ini sebagai alat legitimasi.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang esensi kaderisasi. Apakah kaderisasi benar-benar menjadi pilar pengembangan organisasi, atau hanya sekadar atribut formal untuk memperkuat citra? Jika kader internal tidak diberi kepercayaan untuk mengisi posisi strategis, maka kaderisasi hanya menjadi ritual kosong yang melahirkan generasi tanpa arah. 

Oleh karena itu, ketimpangan antara narasi kaderisasi dan praktik rekrutmen terbuka harus menjadi cermin refleksi bagi organisasi. Sebuah organisasi yang tidak memercayai kadernya sendiri pada dasarnya sedang mengikis legitimasi dan kepercayaan internalnya. Modal simbolik yang terlihat megah tidak akan bertahan lama jika tidak ditopang oleh sistem yang benar-benar solid. Akibatnya, organisasi ini hanya akan menjadi entitas yang besar di luar, tetapi rapuh di dalam. 

Risiko Kehilangan Identitas Organisasi 

Rekrutmen terbuka sering kali dianggap sebagai wujud dari sistem meritokrasi yang ideal, di mana kompetensi dan kemampuan menjadi dasar utama dalam penempatan posisi penting. Dalam perspektif ini, organisasi memilih individu-individu dengan keahlian teknis terbaik tanpa memandang latar belakang mereka. Namun, dalam konteks organisasi yang mengklaim berbasis kaderisasi, langkah ini bisa berisiko menjadi bumerang. Orang-orang yang direkrut dari luar mungkin memang memiliki kompetensi teknis yang mumpuni, tetapi mereka belum tentu memiliki pemahaman yang mendalam mengenai nilai-nilai dan budaya yang telah dibangun dalam organisasi tersebut. 

Seperti yang diungkapkan oleh Edgar Schein, seorang ahli dalam studi budaya organisasi, “Budaya organisasi adalah jiwa kolektif yang membentuk cara berpikir dan bertindak anggotanya.” Budaya ini tidak hanya mencakup norma dan aturan, tetapi juga cara organisasi melihat dunia dan menghadapinya. Ketika orang luar dihadirkan untuk mengisi posisi strategis, mereka cenderung membawa perspektif dan prioritas yang mungkin tidak sejalan dengan nilai-nilai inti yang dijunjung tinggi oleh organisasi. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya disrupsi dalam keseimbangan budaya organisasi, yang pada akhirnya merusak kesatuan identitas yang sudah dibangun dengan susah payah. 

Ironisnya, bagi organisasi yang mengklaim memiliki sistem kaderisasi yang kuat, keputusan untuk bergantung pada rekrutmen terbuka justru menunjukkan kelemahan dalam mempertahankan budaya internal. Bukankah inti dari kaderisasi adalah untuk menginternalisasi nilai-nilai dan budaya organisasi kepada setiap individu yang bergabung, sehingga mereka bisa menjadi bagian dari jiwa kolektif itu? Jika sistem kaderisasi bekerja dengan baik, maka individu yang muncul dari proses tersebut seharusnya sudah memiliki pemahaman yang mendalam mengenai budaya dan nilai-nilai organisasi, dan mereka akan lebih mampu menjaga kontinuitasnya. 

Namun, dengan membuka pintu lebar-lebar untuk orang luar, organisasi secara tidak langsung merusak keberlanjutan budaya tersebut. Keahlian teknis yang dibawa oleh orang luar bisa bermanfaat dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang, mereka mungkin tidak dapat menanamkan nilai-nilai dasar yang diperlukan untuk mempertahankan identitas organisasi. Sebagaimana dijelaskan oleh Schein, perubahan yang terjadi tanpa memahami dan menghargai budaya internal dapat mengarah pada disorientasi dan hilangnya kohesi di dalam organisasi. 

Bagi organisasi yang mengedepankan kaderisasi, langkah rekrutmen terbuka ini bukan hanya sekadar kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kader internal, tetapi juga potensi kehilangan jati diri. Ketika orang luar yang tidak memahami budaya organisasi mulai menduduki posisi strategis, identitas organisasi yang semula kokoh bisa tergerus, dan pada akhirnya, organisasi ini hanya akan menjadi cangkang tanpa jiwa, terlepas dari nilai-nilai yang selama ini dibanggakan. 

Refleksi: Apa Makna Kaderisasi? 

Fenomena rekrutmen terbuka dalam organisasi berbasis kaderisasi membuka ruang untuk refleksi yang mendalam mengenai esensi dari kaderisasi itu sendiri. Jika sebuah organisasi benar-benar meyakini bahwa kaderisasi adalah fondasi utama yang mendukung perkembangan dan kesinambungan visi-misi mereka, maka muncul dua pertanyaan penting yang perlu dijawab dengan jujur:
 - Jika kaderisasi benar-benar efektif, mengapa organisasi tidak mempercayai kader internal untuk mengisi posisi-posisi penting?
 - Jika rekrutmen terbuka dianggap sebagai solusi untuk mengisi posisi tersebut, apakah ini berarti organisasi mengakui kegagalan dalam sistem kaderisasi mereka sendiri? 
Pertanyaan-pertanyaan ini menggugah kita untuk berpikir lebih jauh mengenai tujuan dan hasil dari proses kaderisasi. Kaderisasi seharusnya tidak hanya menjadi proses formal atau simbolik, tetapi juga menciptakan pemimpin-pemimpin yang mampu menjalankan organisasi sesuai dengan nilai dan visi yang telah ditanamkan. Jika kaderisasi berhasil, seharusnya organisasi tidak perlu mencari pemimpin dari luar, karena mereka sudah memiliki pemimpin yang siap mengemban tanggung jawab dan memimpin dengan penuh komitmen terhadap tujuan bersama. 

Namun, jika keputusan untuk memilih rekrutmen eksternal lebih diutamakan, hal ini mengindikasikan bahwa ada ketidakpercayaan terhadap kemampuan kader internal untuk memimpin. Ini tentu saja menimbulkan pertanyaan mendalam: jika organisasi tidak dapat mempercayakan posisi penting kepada orang-orang yang telah dibina melalui kaderisasi, apa yang sebenarnya salah dalam proses tersebut? Apakah organisasi telah gagal menciptakan pemimpin yang berkualitas, atau justru sistem kaderisasi itu sendiri yang tidak efektif? 

Seperti yang dikatakan oleh Antonio Gramsci, “Hegemoni organisasi terletak pada kemampuannya untuk mempertahankan kesatuan visi dan misi, bukan pada retorika kosong.” Hegemoni ini, menurut Gramsci, tidak dapat dipertahankan hanya dengan wacana atau klaim semata. Organisasi yang benar-benar kuat dan memiliki pengaruh adalah yang mampu mempertahankan kesatuan visi dan misinya dengan menghasilkan pemimpin dari dalam pemimpin yang sepenuhnya memahami nilai-nilai dan budaya organisasi, dan mampu mewujudkannya dalam tindakan nyata. Jika organisasi gagal menghasilkan pemimpin dari dalam dan terpaksa mengandalkan individu eksternal, ini berarti mereka telah kehilangan hegemoninya. 

Hegemoni yang hilang akan berdampak langsung pada ketahanan dan integritas organisasi. Pemimpin yang datang dari luar tidak hanya membawa perspektif baru, tetapi juga potensi untuk mengubah arah organisasi yang mungkin tidak sejalan dengan nilai-nilai yang sudah dibangun. Dalam jangka panjang, hal ini akan mengarah pada disorientasi dan fragmentasi dalam tubuh organisasi, yang pada akhirnya merusak kesatuan yang seharusnya terjaga melalui kaderisasi. 

Oleh karena itu, keputusan untuk mengandalkan rekrutmen terbuka seharusnya menjadi bahan evaluasi yang serius bagi organisasi. Jika mereka benar-benar percaya pada kekuatan kaderisasi, maka sistem tersebut harus mampu mencetak pemimpin yang berkualitas, yang tidak hanya memiliki kompetensi tetapi juga semangat dan komitmen terhadap visi organisasi. Kegagalan dalam hal ini tidak hanya mengindikasikan masalah dalam sistem kaderisasi, tetapi juga dapat meruntuhkan kekuatan dan legitimasi organisasi itu sendiri. 

Kesimpulan 

Organisasi yang kuat adalah organisasi yang percaya pada sistem kaderisasi yang telah dibangun dengan segenap komitmen untuk menghasilkan pemimpin dari dalam. Jika sistem ini tidak mampu mencetak pemimpin yang layak, maka bukanlah langkah yang bijak untuk langsung mencari solusi instan dengan rekrutmen terbuka. Sebaliknya, organisasi perlu melakukan evaluasi serius terhadap proses kaderisasi yang telah dijalankan. Apakah mekanisme tersebut benar-benar efektif, ataukah ada elemen-elemen penting yang perlu diperbaiki agar kaderisasi dapat berjalan sesuai dengan tujuan awalnya? 

Sebagaimana yang dikatakan oleh Margaret Mead, “Jangan pernah meragukan bahwa sekelompok kecil orang yang berkomitmen dapat mengubah dunia; mereka adalah satu-satunya yang pernah melakukannya.” Dalam konteks ini, sekelompok kecil orang yang berkomitmen pada nilai-nilai dan tujuan bersama adalah kekuatan utama yang mampu menggerakkan perubahan dalam organisasi. Namun, pertanyaannya adalah: apakah organisasi ini memiliki sekelompok kecil orang tersebut di dalamnya, atau mereka justru harus mencarinya dari luar? 

Jika organisasi benar-benar memiliki komitmen terhadap kaderisasi, maka mereka harus mampu membangun dan mempercayai generasi pemimpin internal yang tumbuh dari proses tersebut. Kegagalan dalam menghasilkan pemimpin dari dalam bisa menjadi indikator bahwa organisasi tersebut kehilangan arah dan identitas. Organisasi yang bergantung pada rekrutmen eksternal untuk mengisi posisi penting tanpa melakukan perbaikan terhadap sistem kaderisasi internalnya hanya akan terus berputar dalam siklus ketidakpastian dan disorientasi. 

Pada akhirnya, esensi dari sebuah organisasi bukan hanya terletak pada struktur atau kebijakan yang diterapkan, tetapi pada kemampuannya untuk mengembangkan dan mempertahankan pemimpin yang mampu menjaga integritas dan kesinambungan visi organisasi. Sebuah organisasi yang kehilangan kepercayaan pada kaderisasi internalnya akan kehilangan bukan hanya pemimpin, tetapi juga jiwa dan arah yang telah menjadi identitasnya. 

Daftar Pustaka: 
Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. International Publishers, 1971.
Bourdieu, Pierre. (1986). The Forms of Capital. Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. 
Kotter, John P. (1996). Leading Change. Harvard Business Review Press. 
Likert, Rensis. (1967). The Human Organization: Its Management and Value. McGraw-Hill.
Schein, Edgar H. (2010). Organizational Culture and Leadership. Jossey-Bass. 
Weber, Max. (1922). Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology.


Penulis : Sahabat Wahyu