Oleh : M. Husni
Mushonifin
Pemahaman Islam Ahlussunnah wal Jama’ah
(ASWAJA) merupakan kelangsungan desain yang dilakukan sepjak zaman
Rasulullah SAW dan Khulafaur-rasyidin. Namun sistem ini kemudian menonjol
setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke II H. Seorang Ulama’ besar
bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah
majlis ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat
tahun 110 H. Beliau mempunyai salah seorang murid yang kecerdasannya cukup
menonjol di antara murid lainnya yang bernama Washil bin Atha’.
Pada suatu ketika muncul perdebatan antara
imam Al-basri dan Washil tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar.
Washil mengajukan pertanyaan apakah orang yang melakukan dosa besar masih tetap
mu’min atau tidak? Jawaban Al-Imam Hasan Al-Bashry, “Dia tetap mu’min selama ia
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi dia fasik dengan perbuatan
maksiatnya. Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits karena Al-Imam
Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an
dan Hadits.
Tetapi, jawaban gurunya tersebut, ditanggapi
berbeda oleh muridnya, Washil bin Atha’. Menurut Washil, orang mu’min yang
melakukan dosa besar itu sudah bukan mu’min lagi. Sebab menurut pandangannya, “bagaimana
mungkin, seorang mu’min melakukan dosa besar? Jika melakukan dosa besar,
berarti iman yang ada padanya itu iman dusta.” Kemudian, dalam perkembangan
berikutnya, sang murid tersebut dikucilkan oleh gurunya. Hingga ke pojok masjid
dan dipisah dari jama’ahnya. Karena peristiwa demikian itu Washil disebut
mu’tazilah, yakni orang yang diasingkan.
Adapun beberapa teman yang bergabung bersama
Washil bin Atha’, antara lain bernama Amr bin Ubaid. Selanjutnya, mereka
memproklamirkan kelompoknya dengan sebutan Mu’tazilah. Kelompok ini, ternyata
dalam cara berfikirnya, juga dipengaruhi oleh ilmu dan falsafat Yunani.
Sehingga, terkadang mereka terlalu berani menafsirkan Al-Qur’an sejalan dengan
akalnya. Kelompok semacam ini, dalam sejarahnya terpecah menjadi golongan-golongan
yang tidak terhitung karena tiap-tiap mereka mempunyai pandangan
sendiri-sendiri. Bahkan, diantara mereka ada yang terlalu ekstrim, berani
menolak Al-Qur’an dan Assunnah, bila bertentangan dengan pertimabangan akalnya.
Tapi di antara mereka tetap ada yang menyeimbangkan antara porsi akal dan dalil
al-qur’an hadist.
Semenjak itulah maka para ulama’ yang
mengutamakan dalil al-Qur’an dan Hadits namun tetap menghargai akal pikiran
mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama. Kelompok
ini kemudian disebut kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah dengan tokoh pendirinya
Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansyur Al-matturidi (tadinya mereka berdua adalah
muktazilah ekstrim).
Aktualisasi ASWAJA
Semenjak berdirinya
NU, aswaja di amalkan sebagai madzhab. hingga muncul gugatan terhadap paham
yang telah lama mengakar di kalangan NU tersebut. Masih relevankah ASWAJA di
pahami hanya sebagai madzhab, atau mungkinkah ada cara lain untuk
mengaktualisasikan ASWAJA?
Di antara anak
muda NU yang menggugat paham tersebut adalah Kang
Said (panggilan akrab Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA) dalam sebuah forum di
Jakarta pada tahun 1991 dan di kuatkan oleh kader-kader PMII pada saat
itu. Perdebatan saat itu mengarah kepada efektifitas aswaja terhadap pemecahan
persoalan yang di hadapi masyarakat indonesia yang mayoritas adalah warga
Nahdliyiin.
Tak bisa di
pungkiri bahwa mayoritas warga NU yang hidup di pedesaan selalu mendapatkan
doktrin keagamaan untuk mengedepankan kepasrahan terhadap kondisi hidup yang
serba terbatas. Yang mana secara politis masyarakat nahdliyiin tertekan oleh
pemerintah era orde baru. Sehingga harus ada gebrakan besar yang mampu
membebaskan warga NU ini.
Ketika itu
muncullah gagasan utnuk mengaktualisasikan aswaja menjadi manhadjul fikri atau
cara berikir berdasarkan aswaja. Apa itu, aswaja tidak hanya mengajarkan
manusia untuk menggantungkan hidup kepada tuhan dengan beribadah semata, namun
juga harus mau mendayagunakan akal, pikiran, jiwa dan raganya untuk berjuang.
Atas dasar pemahaman aswaja yang demikian, pada akhirnya
PMII untuk pertama kalinya pada tahun 1997 pada masa kepemimpinan Muhaimin
Iskandar mampu mencetuskan paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran untuk
melawan ketidak adilan dan berjuang untuk kehiduapn berbangasa yang lebih baik
dengan mencantumkan sejarah gemilang bersama KH. Abdurrahman Wahid mencetak era
baru yaitu reformasi.
Namun begitu dinamika untuk mengaktualisasikan aswaja tidak
berhenti begitu saja. Pada era reformasi ini seorang tokoh muda Nahdliyiin
sekaligus intelektual PMII yaitu Ahmad Basso melemparkan gagasan baru agar
aswaja di pahami sebagai manhadjul harokah. Apa itu, yaitu paham aswaja yang
mengedepankan gerakan nyata untuk merubah kondisi yang lebih nyata pula.
Jika aswaja sebagai madzhab di pahami sebagai tata cara
ibadahnya kaum NU, kemudian aswaja sebagai manhajul fikri di pahami sebagai
cara bepikir masyarakat NU yang masih mengawang dan sulit di pahami oleh masyarakat
awam. Maka aswaja sebagai manhajul harokah sudah mengajak seluruh masyarakat NU
untuk bersama-sama membangun kahidupan yang lebih baik untuk diri-sendiri,
agama, nusa dan bangsa.
ASWAJA
sebagai manhajul harokah
Dalam perspektif ini sebetulnya
menghendaki agar aswaja di pahami secara sederhana. Pada intinya aswaja
mengajarkan kesetaraan, keadilan, dan penghargaan kepada nilai-nilai
kemanusiaan. Pokok dari prinsip ASWAJA adalah keseimbangan
(Tawazun). Contoh yang sering di kemukakan untuk menggambarkannya ialah dengan
perspektif ekonomi politik. Dimana pemerataan ekonomi dan kesejahteraan rakyat menjadi indikatornya dan keadilan hukum
serta tercapainya tujuan demokrasi yaitu menempatkan rakyat sebagai penguasa
dan para penyelenggara negara sebagai wakilnya.
Kemiskinan adalah fenomena sosial yang
hampir belum di ketemukan jalan keluarnya. Hal ini semakin meyakinkan kaum
gerakan terutama PMII bahwa kemiskinan ini tidak terjadi secara ilmiyah semata
akan tetapi semacam kebetulan yang di
tunggangi. Masyarakat adalah
komunitas yang hidup di bawah kendali negara, dan negara memiliki aset yang cukup untuk menghidupi
masyarakatnya. Jika ada argumen yang mengatakan bahwa kemiskinan adalah kondisi
alami yang tak bisa di hindari manusia (bisa jadi karena takdir Allah SWT),
bagi PMII tak ada masalah.
Akan tetapi jika takdir di jadikan
alasan ketidak mampuan negara dalam melindungi masyarakatnya dan “mengkambing
hitamkan” Allah SWT atas kemiskinanan, maka kami katakan itu adalah pembodohan.
Dan sudah sepatutnya aswaja “turun tangan” menghadapi hal
demikian agar masyarakat awam tidak salah paham lagi mana
yang takdir dan mana yang rekayasa. Kira-kira semacam itu
sekelumit contoh cara kerja aswaja sebagai manhajul harakah.
Sebagai ajaran dasar kaum nahdliyin,
seringkali ASWAJA di pahami berbeda. Sulit sekali menyamakan persepsi mengenai
aswaja ini, sehingga gagasan untuk menyederhanakan aswaja kedalam gerakan nyata
yang berbasis ekonomi-politik harus segera di munculkan.
Aswaja dan paradigma
PMII
Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara
pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam
berpikir, bersikap, dan bertingkah laku. Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan
praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang
sama, khususnya, dalam disiplin intelektual.
Kata paradigma sendiri berasal dari
abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari bahasa Latin pada
tahun 1483 yaitu paradigma yang berarti suatu model atau pola. Dalam
bahasa Yunani biasa di tuliskan paradeigma terbagi dalam dua kata “para” yang
berarti bersebelahan dan “deig” yang berarti memperlihatkan[1].
Di dalam kultur NU tidak di kenal
istilah paradigma, namun yang sering kita kenal adalah aqidah, dan qidah NU
adalah Aswaja. Walaupun PMII secara struktural independen dari NU, namun PMII
tetap menggunakan aswaja sebagai aqidah pergerakan. Dan untuk mempertajam
gerakannya, PMII mulai menggunakan paradigma untuk melihat konteks, menyusun
konsep, dan mengeksekusi gerakan yang sesuai dengan zaman yang sedang
berkembang. Lantas apa hubungan aswaja dan paradigma? Jawabannya adalah kerana
gerakan PMII di wajibkan menggunakan landasan ilmu pengetahuan yang memadai.
Dalam beberapa literatur di jelaskan
bahwa ilmu pengetahuan bersifat bebas nilai dan tak terikat dengan ideologi
atau akidah manapun. Hal ini masih kita yakini sampai saat ini. Tetapi seiring
dengan perkembangan sejarah dan perkembangan ilmu filsafat, sosiologi,
antropologi, serta pengaruh agama. Ternyata produksi ilmu pengetahuan sangat
tergantung kepada ideologi dan keyakinan tokoh besarnya. Dan latar belakang
tokoh tersebut sangat tergantung kepada ideologi, budaya, dan kehidupan yang
melingkupinya.
Thomas kuhn salah seorang tokoh besar
di bidang antropologi dan yang mengenalkan istilah paradigma kedalam kajian
antropologi. Di dalam karya monumentalnya The Structure of Scientific
Revolutions mengungkapkan, Ilmu pengetahuan terikat oleh ruang dan waktu,
aplikasi dari ilmu (sains dan humaniora) sangat tergantung dengan kondisi
budaya dan masyarakat yang dihadapi. Lebih ,jauh lagi dia menyatakan bahwa ilmu
hanya ada di belakang kenyataan bukan menjadi garda terdepan kenyataan, oleh
sebab itu dia menamainya sebagai paradigma (pembanding atau pembentuk pola),
karena itu ilmu sangat tergantung dengan kondisi sosiologis, antropologis, dan
psikologis.
Hubungan paradigma dan aswaja adalah,
karena Aswaja ujung tombak akidah gerakan PMII yang gerakannya di landaskan
kepada ideologi Pancasila. Abstraksi aswaja dan pancasila terlalu panjang untuk
di jabarkan, maka dari itu dalam menyusun agenda gerakannya PMII harus
mempunyai road-map atau standar oprasional.
Pada akhirnya PMII mengenalkan
paradigma sebagai standar oprasional kaderisasi dan gerakan. Adapun paradigma
yang sudah di cetuskan oleh PMII adalah, pertama, menggiring arus
masyarakat pinggiran. Paradigma ini menghendaki PMII mengadvokasi
masyarakat marginal dan menggiringnya untuk melawan kekuasaan. Karena pada waktu di
cetuskannya paradigma ini kita sedang menghadapi penguasa tiran orde baru.
Kedua, kritis transformatif,
paradigma ini menghendaki kader-kader PMII selain hanya mengkritik dan turun
aksi, di harapkan juga mampu mengamalkan ilmunya untuk kemaslahatan masyarakat
dengan cara yang lebih konkret yang kebetulan saat itu presiden RI adalah KH.
Abdurrahman Wahid, sang panutan PMII. Ketiga, multi level strategi
yaitu paradigma yang menghendaki setiap kader PMII harus mengajak kader PMII
yang lain untuk ‘berkembang dan mengembangkan potensinya. Yang terakhir,
paradigma yang berbasis realitas yaitu kader PMII memahami
realitas di sekitarnya dan mengambil inisiatif untuk melakukan gerakan
sekaligus mengambil alih estafet kepemimpinan.
Itulah
sekelumit catatan tentang alasan PMII menggunakan paradigma sebagai standar
oprasional gerakannya.
0 Komentar