Oleh : M. Husni Mushonifin
Kalau
sahabat cerdas, maka sahabat akan tahu siapa tokoh ini. Atau mungkin sahabat
terlalu cerdas karena sahabat sudah tahu siapa tokoh ini. Atau boleh jadi,
sahabat yang sudah tahu siapa tokoh ini, adalah keturunan PKI, hehe, kalo ini
terlalu lebai. Yang pasti penulis baru tahu siapa tokoh ini, walaupun hanya
sekedar tahu, sekali lagi sekedar tahu, jadi jangan menuntut penjelasan yang
memuaskan. Ketika penulis masih sekolah dulu, tak ada refrensi sejarah yang
menyebutkan tokoh ini, apalagi tulisan yang mendayu-dayu untuk memuji tokoh
ini. Maka pertanyaan besarnya, siapakah tokoh ini? Apa dan bagaimana amal perbuatannya
hingga kita harus tahu cerita tokoh ini? Dan pertanyaan yang paling utama,
maukah sahabat membaca tulisan saya tentang tokoh ini?
Sebelum
melanjutkan akan saya jelaskan terlebih dahulu kenapa harus menulis tentang
tokoh ini. Selain karena momennya memperingati G 30 S/PKI, Saya tertarik dengan
sekelumit kisah tokoh ini yang begitu heroik di masa revolusi nasional jaman
dulu. Jika kisahnya tak sampai ke telinga kita, maka jawabannya adalah ini
“salah” PKI. Karena kita tahu, barang siapa kesenggol sedikit saja dengan PKI,
habis sudah karakternya, dia akan di anggap tidak pernah lahir di dunia ini.
Dan bisa kita tebak, peran dan kontribusi tokoh ini tak di anggap sama sekali.
Karena perannya yang besar namun tidak terlihat, maka saya sebut tokoh ini
sebagai sang supersub.
Apa
itu supersub? Supersub adalah seseorang yang punya kontribusi besar dalam
menyukseskan sesuatu tapi tak di anggap sebagai aktor utama. Dalam dunia sepak
bola, supersub adalah pemain cadangan yang masuk lapangan belakangan tapi punya
kontribusi besar dalam kemenangan sebuah tim. Pendek kata supersub adalah
pahlawan yang tak di anggap.
Kembali
lagi ke tokoh ini, akan saya sebut langsung namanya, kaku juga lidah
terus-terusan nyebut “tokoh ini”. Mr. Amir
Sjarifoeddin Harahap yang lahir di Medan, 27 April 1907, kemudian meninggal di Surakarta karena di tembak oleh
serdadu TNI pada 19 Desember 1948 pada umur 41 tahun. beliau adalah seorang politikus
sosialis dan salah satu pemimpin terawal Republik Indonesia. Ayahnya,
Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya,
Basunu Siregar (1890-1931), dari keluarga Batak yang telah membaur dengan
masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas,Tapanuli.
Kisah hidup
Amir menjabat sebagai Perdana Menteri ketika Revolusi Nasional Indonesia sedang berlangsung. Berasal
dari keluarga Batak Muslim, Amir menjadi pemimpin sayap kiri terdepan
pada masa Revolusi. Pada tahun 1948, ia dieksekusi mati oleh pemerintah karena di
anggap terlibat dalam pemberontakan komunis di Madiun.
Kisah hidupnya di mulai dari dalam aristokrasi sumatra di
medan. Beliau hidup di lingkungan yang kaya dan di dukung dengan fasilitas
pendidikan yang memadai sehingga beliau sangat cerdas. Karena beliau cerdas dan
kaya, berdarah biru pula, maka dengan gampang beliau sekolah di lembaga
pendidikan elit saat itu hingga kemudian beliau melanjutkan pendidikan tinggi
di harleem dan leiden. Di negeri saudara tiri bangsa kita itu, beliau belajar
filsafat timur dan barat di bawah theosophical society, namun karena lembaga
ini beliau pindah agama dari islam ke kristen di tahun 1931. Dari perpindahan
agama ini pula beliau semakin mendalami dan meyakini pemikiran kiri yang penuh
gejolak perlawanan, pembrontakan, anti kemapanan, dan anti penjajahan.
Pertama-tama beliau masuk ELS (SD versi belanda) di medan
tahun 1914 hingga agusttus 1921. Kemudian dia di undang saudaranya TSG Mulia yang
juga anggota volksraad (DPR versi belanda) untuk belajar di leiden. Di kurun
waktu 1926-1927 beliau aktif mengikuti forum diskusi Perhimpuanan Siswa
Gymnasium dan kemudian menjadi anggotanya. Selama masa itu pula beliau aktif di
dalam forum diskusi mahasiswa kristen yang tergabung dalam CSV-op Java (cikal
bakal berdirinya GMKI). Ia tinggal di rumah guru pemeluk kristen calvinis, dirk
smink, bersama saudaranya TSG mulia.
Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat
kedua, beliau kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun
teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden, namun
beliau tetap pulang, karena sebenarnya yang menjadi masalahnya bukan keluarga,
tapi ada undangan dari koleganya di perkumpulan pemuda batak yang kemudian di
resmikan menjadi jong batak, dan beliaulah yang memimpin menjelang hari sumpah
pemuda pada 28 oktober 1928.
Di tanah air beliau
melanjutkan Sekolah Hukum di Batavia, menumpang di rumah Mulia (sepupunya,
saudara kandung TSG mulia) yang telah menjabat sebagai direktur sekolah
pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian beliau pindah ke asrama pelajar Indonesisch
Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung
oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin.
Gejolak Revolusi
Kemudian kita mulai kisah “ke-kiri-kiri-an-nya”.
Di tanah air beliau kerap kali berdiskusi dengan Musso. Beliau menganggap tokoh
nasional yang paham isu global hanyalah musso. Apalagi musso kerap kali
bolak-balik moskow-beijing-jakarta untuk menjalankan garis konsolidasi
komunisme internasional. Pada waktu itu hanya PKI yang bebas membangun
komunikasi dengan dunia internasional, dan hanya PKI satut-satunya partai yang
di anggap resmi di Indonesia karena belanda memang lemah di hadapan uni soviet.
Singkat cerita Amir benyak terpengaruh oleh pemikiran Musso.
Menjelang
invasi Jepang
ke Hindia
Belanda, Amir berusaha menyetujui dan menjalankan garis Komunis
Internasional agar kaum kiri
menggalang aliansi dengankekuatan kapitalis (dalam hal ini belanda) untuk
menghancurkan Fasisme
jepang. Barangkali ini mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke
Hindia Belanda dalam tahun 1936.
Amir
kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, untuk menggalang
semua kekuatan anti fasis untuk bekerja bersama dengan dinas rahasia Belanda
dalam menghadapi serbuan Jepang. dalam hal melawan fasisme jepang, Amir mendasarkan pada teori
mengenai analisis terhadap krisis hubungan internasional, dan sistem politik
global serta mengenai hubungan antara negeri jajahan dan penjajah yang
merupakan bagian integral darinya. Namun rencana
itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum
pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik pada awal tahun 1940-an tentang
strategi non koopratif-dialogis dengan belanda, serta tidak paham akan strateginya
melawan Jepang. Rekan-rekan amir ingin menempuh taktik lain yaitu,
berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan
kepada Indonesia setelah kolonialis Belanda dikalahkan.
Namun
kemudian prediksi dan strategi Amir yang terbukti benar, jepang justru lebih
kejam menjajah indonesia. seandainya Amir masih
hidup, dengan alat analisisnya mungkin masih dapat menunjukkan problem pokok
dan solusinya dengan tepat terhadap sistem penjajahan baru yang merangsek
sekarang ini.
Pada
bulan Januari 1943 beliau tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah
gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya.
Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi
anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir.
Terutama dari sisa-sisa kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri
Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun identifikasi
penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang
pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat di jatuhkan ke para pimpinan Gerindo dan Partindo Surabaya.
Sebuah
dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), instansi
rahasia yang dipimpin Van Mook,
tertanggal 9 Juni1947 menulis tentang Amir;
"ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa, dan dia orang yang tak
mengenal kata takut". Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos
terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya.
Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang.
Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya
dengan kaki di atas.
Eksistensi dan peranan Amir untuk memerdekakan Indonsia
merupakan manifestasi nasionalismenya. Perjuangannya pun konsisten sampai
mendekati Proklamasi Indonesia, Bung Amir tetap getol berjuang demi kemerdekaan
hakiki. Bahkan, isu yang beredar zaman itu, Bung Amir sempat di usulkan sebagai
pembaca teks Proklamasi.
Bahkan karena hal itu pulalah, pada tahun 1946 amir di angkat sebagai perdana
menteri pertama.
Peran
beliau yang paling penting ketika diadakan perjanjian Renville untuk menentukan
batas wilayah negara. Dalam pertemuan ini tanggungjawab
yang berat terletak dipundak kaum Komunis, khususnya Amir sebagai negosiator
utama dari Republik Indonesia, dan pada saat itu Amir menjabat sebagai perdana
menteri. Dalam perjanjian ini Indonesia di rugikan karena batas wilayahnya
sangat sempit yang hanya mencakup sumatara, jawa, madura, dan bali.
Dalam
perjanjian Renville ini kita bisa menelaah Sikap
nonkooperatif mengalami kebuntuan tatkala Amir berada dalam panggung kekuasaan.
Pada situasi yang bergerak cepat, sangat sulit menemukan cara yang bisa
mempertemukan antara negara dan revolusi, antara stabilitas dan perubahan, dan
antara yang lama dan yang baru. Gambaran itu dapat disepadankan dengan
pengalaman kepemimpinan Gus Dur pascareformasi yang kesulitan melakukan
perubahan. Ternyata kedudukan sebagai perdana menteri membuat Amir
kebingungan menyusun agenda revolusi.
Ketika
disalahkan atas persetujuan Renville oleh golongan Masyumi dan Nasionalis,
Kabinet Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan
samasekali. Kedudukan perdana menteri di gantikan oleh Hatta yang sekaligus
merangkap sebagai wakil presiden. Namun, atas keputusan amir mengundurkan diri,
kelompok PKI tidak begitu saja diam, jelas PKI merasa tidak ada hubungan dengan
Amir, karena mereka hanya sebatas koalisi. Dan Amir sendiripun sebetulnya lebih
berhaluan sosialis demokratis.
Pristiwa
Madiun
Ketika
Musso kembali dari soviet dan mendapat mandat untuk memimpin politbiro
menggantikan Sardjono dan Alimin PKI semakin menunjukkan reaksi keras atas
kekecewaannya terhadap penyudutan Amir yang juga menyudutkan PKI. Sebelum Musso
kembali situasi dalam negeri sangat genting, PKI menjadi bulan-bulanan oleh
orang-orang masyumi dan nasionalis karena kegagalan renville itu. Bahkan
syahrir, yang saat itu adalah kader terbaik PKI memutuskan membuat partai
sendiri yaitu PSI yang berkoalisi dengan Hatta. PKI kemudian memulai usaha
untuk mendapatkan kekuasaan kembali melalui Amir Syamsudin. Pada bulan Februari
1948 Koalisi sayap kiri pimpinan PKI membuat Front Demokrasi Rakyat dan mencela
perjanjian renville sebagai strategi politik agar PKI seolah-olah tidak ikut bertanggung
jawab atas “keteledoran” Amir syarifuddin, yang harapannya agar PKI kembali ke
kursi kekuasaan.
Dengan kembalinya Muso pada 11 Agustus 1948, PKI
mendapatkan suntikan baru. Muso dengan cepat bisa menggeser politbiro PKI yang
saat itu dipegang olej Sardjono dan Alimin. Untuk mengevaluasi kebijakan
politik PKI dan juga pemerintah Republik Indonesia, Muso mengeluarkan sebuah
konsep perjuangan yang dikenal dengan istilah Jalan Baru Muso.
Konflik antara PKI dengan pemerintah Republik Indonesia
pasca jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin mencapai puncaknya pada tanggal 18
September 1948, yang ditandai dengan pemberontakan PKI di Madiun. Saat itu, PKI
berhasil menguasai kota Madiun dan kemudian mengangkat Kolonel Djokosuyono
sebagai Gubernur Militer Madiun. Radio
setempat terus menyiarkan langsung pidato propaganda PKI. Korban terus
berjatuhan di Madiun bahkan sampai ke Solo. Salah satunya adalah dr. Muwardi,
ketua Gerakan Revolusi Rakjat (GRR) yang menentang Amir Sjarifuddin sewaktu
Amir menjadi perdana menteri. Tanggal 19 September 1948, PKI/FDR di bawah Muso
memproklamirkan berdirinya “Soviet Republik Indonesia” di Madiun.
Wajah Madiun pun dirombak total sehingga
menyerupai Soviet Republik Indonesia. Sebagai walikota ditunjuk Abdulmutalib,
seorang tokoh utama komunis. Pajak ditiadakan, karena dianggap tidak
mencerminkan suatu negara yang demokratis. Tetapi rakyat diwajibkan
mendaftarkan berapa jumlah emas dan pemiliknya kepada pemerintah (persis seperti
pemerintahan Bolschevik di soviet). Tidak seorangpun diperbolehkan memiliki
uang lebih dari lima ratus rupiah. Saat pasukan Republik Indonesia merengsek ke
dalam kota Madiun, pasukan PKI dan para gembongnya kalang kabut lari ke
gunung-gunung. Muso akhirnya tewas dalam baku tembak antar pasukan, sedangkan
Amir Syarifuddin akhirnya dihukum mati pada 19 Desember 1948.
Disinilah akhir dari hidup Mr. Amir
Syarifuddin Harahap yang gagah pemberani, tak kenal rasa takut, bertanggung
jawab bahkan kepada hal-hal yang bukan atas inisiatifnya dan berani mengambil
keputusan. Beliau bukan kader PKI murni, tapi karena persinggungannya dan
keputusan arah politiknya yang cenderung kiri, bahkan ketika pristiwa madiunpun
beliau tidak ikut-ikutan, nama beliau tercantum dalam lembar hitam sejarah
bangsa. Salamat jalan sang panutan, selamat jalan sang supersub.
Tulisan ini di dedikasikan untuk para pejuang
yang memperjuangkan Mr. Amir Syarifuddin Harahap sebagai pahlawan nasional.
Kami mendukung setiap langkah untuk memberikan penghargaan setinggi-tingginya
kepada insan yang berjuang melahirkan bangsa ini. Bangsa yang besar adalah
bangsa yang tak lupa dengan pengorbanan para pahlawannya.
*penulis
adalah pengelola program Lentera Budaya di Cakra Semarang TV dan pengelola penerbitan
Gubug Saloka
0 Komentar