Review Diskusi Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pengelolaan Sumber
Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara bersama Sahabat Kusyana S,Pd (Aktifis
Lingkungan), Aidris Saputro, S.Pd (Pengurus PKC PMII Jawa Tengah), dan M. Andi
Hakim, S.Pd (Peneliti Pendidikan).
Revolusi Mental
yang digadang-gadang oleh Presiden Jokowi ternyata menjadi multitafsir. Salah satunya diterjemahkan oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu bahwa mental yang harus direvolusi ialah yang
berkaitan dengan Nasionalisme dan Bela Negara. Kementrian tersebut menganggap
bahwa rakyat Indonesia kini telah luntur nasionalismenya, untuk itu mereka
menginisisasi adanya Pelatihan Kesadaran Bela Negara (PKBN) yang kini sedang
dikonsultasikan draft RUUnya.
Menurutnya, Pendidikan Bela Negara haruslah diterapkan mulai pendidikan terendah (TK) hingga perguruan tinggi, dengan ketentuan yang dikonsep yang
mengerucut pada wajib militer.
100 juta Kader Bela Negara = Kekerasan
Simbolik
Konsepsi yang diwacanakan adalah akan adanya 100 juta kader Bela Negara yang dicetak di setiap tahun. Angka yang
cukup fantastis untuk ukuran manusia. Hampir seluruh manusia usia produktif
akan terserap kesana. Padahal jelas adanya diversitas bakat dan minat oleh
rakyat haruslah didukung sepenuhnya oleh negara, bukan malah dipaksa untuk juga
angkat senjata.
Muhammad Andi Hakim dalam penjelasannya mengatakan dalam
mencapai cita-cita seseorang paling tidak memenuhi tiga hal, yaitu Habitus,
Capital, dan Arena. Habitus merupakan kebiasaan yang akan menggiring kita
menjadi sesuatu tertentu. Akan tetapi dalam menciptakan habitus tertentu
seseorang juga harus punya modal (capital) yang cukup yang kemudian kita
melaksanakan habitus tersebut dalam arena yang tepat. Nah,.Tiga aspek inilah
yang harus saling bersinergi untuk dapat mengantarkan seseorang terhadap apa
yang ia cita-citakan.
Akan tetapi, konsepsi wajib militer tidak mendukung itu.
Dengan melaksanakan wajib militer, seseorang yang sama sekali tidak ingin
menjadi tentara, terpaksa harus melaksanakan pendidikan ala militer. Ada
pemerkosaan pada habitus peserta. Membuat seseorang tercerabut dari akar
habitusnya sendiri. Lhah wong dia
nggak pengen jadi tentara kok. Ini lhoh yang
kemudian akan menciptakan sebuah dominasi kelompok kuasa terhadap kelompok
lain, yang dengan istilah lain hal ini disebut dengan symbolic violencity atau kekerasan simbolik.
Untuk
menciptakan masyarakat
yang sadar akan kewajiban bela negara,sesuaikandengan habitus masyarakatnya. Bukan serta-merta melalui instruksi yang
otoriter. Sesuaikan
masyarakat pada habitusnya masing-masing, siapkan capitalnya dan tempatkan pada
arena yang tepat. Ketika ia merasa sukses karena difasilitasi negara, secara otomatis cinta tanah
airnya juga akan meningkat.
Pendidikan akan bela negara juga sudah ada sejak dahulu dengan berganti-ganti versi,
yang sekarang dikenal sebagai Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn). Akan tetapi dalam PKn sendiri timbul masalah yaitu minimnya pembahasan mengenai pendidikan pancasila. Tapi itu bukan merupakan kendala yang tidak
bisa ditangani. Dengan merevisi kurikulum mata pelajaran ini saja kiranya sudah
cukup.
Sebagaimana disebutkan dalam UU no.2 Tahun 1989 tentang
SPN (Sistem Pendidikan Nasional) salah satu tujuan adanya Pendidikan
Kewarganeraan adalah untuk meningkatkan nasionalisme dan kesadaran bela negara
(hemat penulis). Jadi, jelas bahwa PKn sudah merupakan Pendidikan Bela Negara
yang cukup ideal bagi rakyat Indonesia, yang tentunya tanpa perlu menghabiskan
banyak anggaran Negara.
Perspektif Konservasi Lingkungan
Selanjutnya tanggapan terkait wacana tersebut ketika
ditelisik dari perspektif Konservasi lingkungan. Sahabat Kusyana menyampaikan
kegelian yang ia rasakan ketika dalam forum yang berisi konsultasi terkait
draft RUU tentang Bela Negara oleh Kesbangpol, disampaikan bahwa Sumber Daya
Alam (SDA) akan dimanfaatkan semaksimal mungkin guna menopang program Pelatihan
Kesadaran Bela Negara.
Dari penjelasan tersebut jelas bahwa pada pemerintahan
kali ini, nilai-nilai antroposentris tidak lagi dipertimbangkan. Karena alam
disini boleh dieksploitasi sebanyaak-banyaknya untuk kepentingan Negara.
Padahal kita harus sadar sebagai makhluk yang hidup di bumi, kita wajib menjaga
keseimbangan alam sekitar, kita sebagai manusia yang dibekali akal haruslah
mampu bertanggungjawab atas kelestarian alam, konservasi alam juga harus
dipertimbangkan.
Membincang ketahanan nasional sama halnya membincang ketahanan pangan. Dan
mas ian (sapaan akrab kusyana) mengajak kita melilihat
realitas sekarang. Di
Indonesia produktivitas padi sangat menurun,
air yang disediakan langsung oleh alam, sudah
menjadi komoditas oleh kelompok-kelompok tertentu. Paradigma yang digunakan
pemerintah dalam melayani rakyat mirip dengan paradigma pedagang. Yap,
mengutamakan untung rugi. Pemerintah mengijinkan air dikelola oleh para pemilik
modal, yang kemudian ketika rakyat ingin mengonsumsinya, harus membeli pada
para pengelola tersebut. Ini baru dari konteks air, sudah terlihat jelas bahwa
disini pemerintah saja selingkuh dengan para pemilik modal. Jadi, bagaimana
rakyat mau mati-matian bela negara kalau dia merasa dihianati oleh
pemerintahnya sendiri.
Aidris Saputro sebagai pemapar materi ketiga menyampaikan
pendapatnya bahwa tujuan PKBN yang baik itu sebenarnya bisa saja dilaksanakan. akan
tetapi, hal itu jangan serta merta diwajibkan untuk seluruh rakyat (universal). Ketika individu atau golongan
yang terindikasi nasinolismenya rendah,
mungkin bisa diwajibkan untuk mengikuti
pendidikan tersebut. dikarantina dan digembleng sedemikian rupa agar cinta
tanah airnya meningkat.
Akan menjadi sia-sia dan buang-buang biaya ketika
kelompok atau golongan yang nasionalismenya sudah jelas tinggi kok masih diwajibkan mengikuti
Pendidikan tersebut. dengan sedikit mau menghitug
saja, sudah tampak jelas betapa besar anggaran yang diperlukan untuk program
ini. Tinggal mengalikan saja biaya hidup 1 orang selama 1 tahun dengan 100juta
kader bela negara. Jumlah yang sangat fantastis. Jika dana tersebut memang ada
lebih baik dialirkan saja untuk pendidikan, kesehatan, konservasi alam, dsb.
Karena hal tersebut jauh dibutuhkan rakyat saat ini.
Diskusi ini ditutup dengan pesan bahwa kita (peserta
diskusi) sebagai generasi muda dan mahasiswa, sudah sepatutnya mengkritisi
apa-apa yang dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya dengan berdiskusi untuk
menyikapi wacana ini. Langkah selanjutnya mungkin bisa melalui tulisan-tulisan
kritis agar masyarakat banyak tahu bagaimana seharusnya kita semua bersikap.
Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi.
0 Komentar