Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses
menuntun peserta didik menuju insan kamil (manusia sempurna). Berbicara
tentang kesempurnaan, rasanya sangat sulit mewujudkannya. Tetapi bukan
lantas kemudian menyerah, impian untuk sebuah
kesempurnaan harus selalu diusahakan. Pun dengan pendidikan. Untuk mewujudkan output
pendidikan yang ideal, terlebih dahulu harus mengetahui tentang hakikat
pendidikan. Untuk itu, diskusi rutinan pendidikan oleh Lembaga Kajian dan Penerbitan (LkaP) pada minggu ini, Selasa (1/12) mengusung tema hakikat
pendidikan.
M. Andi Hakim, pemateri diskusi
mengemukakan, berbicara mengenai pendidikan, harus dimulai dengan rasa cinta
terlebih dahulu. Karena pendidikan harus berlangsung seara apik, tidak ada
paksaan. Dalam sebuah literatur disebutkan bahwa pendidikan sebenarnya
merupakan proses menuntun bukan memaksa. Hal tersebut diperoleh dari pengertian
pendidikan itu sendiri. Pendidikan dalam bahasa Yunani disebut pesagogi yang
berasl dari kata pais dan aggos. Dalam bahasa Inggris disebut educare.
Adapun dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah panggula wentah. Ketiganya
memiliki arti yang hampir sama.
Pendidikan diartikan sebagai proses
penanaman nilai-nilai kemanusiaan. Menurut Andi—sapaan akrabnya—pendidikan tidak
bisa dilepaskan dengan manusia, karena dalam arti pendidikan itu sendiri
terdapat unsur manusianya. Ketika membicarakan tentang manusia, maka tidak akan
lepas dari tiga hal penting, yakni hati, fikir dan laku. ‘Hati’ di sini berarti
dimensi batiniyah, yang dapat membedakan antara yang baik dan buruk. ‘Fikir’
yang mampu menganalisa mana yang benar dan salah. Dan terakhir ‘laku’, mengenai
daya karsa atau berbuat sesuatu. “Ketiganya harus terintegrasi, tidak bisa
dipisahkan antara satu sama lain,” ujarnya.
Ketiga hal di atas (unsur penting dalam
manusia), selain harus terintegrasi, juga tidak bisa dipisahan dengan
pendidikan, sebagaimana telah diungkapkan di atas. Pendidikan haruslah bersifat
humanis, yaitu memanusiakan manusia. “Jika ada guru yang mengandalkan daya
fikirnya saja, berarti guru tersebut tidak paham tentang 3 hal yang dimiliki
manusia (hati, fikir, laku),” teguhnya. Seorang pendidik juga harus mengetahui
bahwa manusia berhak untuk memilih apa yang murid minati. “Jika murid tidak
suka music, maka jangan paksa untuk menyukainya,” tambahnya. Manusia, kata Andi, merupakan orang yang merdeka jadi mereka boleh
memilih. “Pendidikan
yang baik ialah yang menghargai kemerdekaan manusia.”
Diskusi yang berlangsung di Gegung N FITK
tersebut juga sedikit menyinggung tentang 3 aliran klasik pendidikan. Pertama,
Nativisme, menganggap bahwa sejak
lahir seorang anak sudah mempunyai bakat dan pendidikan dianggap tidak penting. Kedua, Empirisme, menganggap bahwa sejak lahir seorang anak tidak mempunyai bakat dan
butuh pendidikan. Terakhir, Konvergensi, yang berpandangan bahwa sejak lahir anak sudah mempunyai bakat akan tetapi juga
membutuhkan pendidikan.
Lap. Lenny Ristiyani
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika Semester 3.
0 Komentar