“menelanjangi
tindakan anti-terorisme dan
koreksi atas semua upaya pencegahan terorisme yang menuduh islam sebagai agama
terror”
Oleh : M. Husni Mushonifin
Terorisme
adalah fenomena yang sudah akrab di
telinga masyarakat indonesia. Namun sayang istilah ini selalu dikaitkan dengan
agama islam. Apakah benar terorisme adalah sebuah sikap keagamaan umat islam?
Kita akan ulas di sini. Terorisme adalah extraordinary crime yang tindakannya
mengarah kepada menanamkan rasa takut secara massif dan sistematis. ada tiga hal yang berkaitan dengan itu; yaitu pemusnahan massal, perilaku
korup, dan peredaran narkoba. Hanya saja dalam UU anti terorisme
hanya terbatas pada pemusnahan masal saja, bahkan dalam prakteknya pencegahan
terorisme hanya mengarah kepada kelompok agama saja utamanya islam. Tidak salah
memang, Cuma jika tindakan pencegahan tindak terorisme hanya diarahkan kepada
kelompok islam, maka stigma yang muncul adalah agama islam yang melakukan
tindakan terorisme.
Kenyataan ini mendorong beberapa ulama
terkemuka menyatakan sikap bahwa islam menolak segala bentuk tindakan terror
dan menganggap terorisme di luar jalur ajaran agama. Jika ada umat islam yang
melakukan tindakan terror maka akan segera dicap tidak memiliki pemahaman agama
yang mendalam. Setiap tindakan terror yang mengarah kepada kaum muslim juga
akan dianggap sebagai upaya memecah-belah umat dan melemahkan bargaining position
di hadapan penduduk dunia.
Akibat dari perilaku terror ini jelas,
menurut tokoh-tokoh ulama tadi, akan berdampak kepada anggapan bahwa islam
gagal mewujudkan kedamaian sesuai dengan arti kata islam itu sendiri. Dan agama
islam akan dianggap sebagai pemicu terjadinya tindakan terorisme yang bersekala
internasional.
Memang harus
kita akui bersama, bahwa para pelaku tindakan terorisme adalah sebagian umat
islam yang berhaluan keras (ekstrem). Secara norma hukum hal ini harus
ditindak, namun kita juga harus menjernihkan sejernih-jernihnya istilah
terorisme itu. Jangan sampai masyarakat terjebak kepada opini yang tak berdasar
akan stigma islam dalam terorisme. Karena penjumbuhan terorisme kedalam agama
islam hanya akan menjebak secara epistemologis yang merasuk kedalam asumsi
setiap individu masyarakat dan sulit untuk melepaskan itu.
Bahkan tidak
semua aliran islam garis keras berperilaku teror. Kita sepakat bahwa islam
harus membawa kedamaian dan kesejukan dalam masyarakat. Umat islam juga harus
menjadi pionir toleransi dan keberagaman. Islam juga mengajarkan kasih sayang.
Persoalan muncul ketika ada sebagian umat islam yang
merasa sebagai umat yang paling benar dan mengkafir-kafirkan kelompok lain. Dan
ketika suara mereka tidak didengar, mereka melakukan tindakan diluar batas
norma kemanusiaan. Biasanya mereka melakukannya dengan merendahkan ajaran
kelompok agama lain, lalu kemudian membenarkan ajaran sendiri, kemudian setelah
itu mereka melakukan gerakan-gerakan ekstrem. Tapi harus dilihat, hal semacam
ini hanya dilakukan oleh sekelompok kecil dari umat islam, bahkan mereka yang
dianggap terorisme adalah umat yang belum matang dalam beragama, maka tidak
layak jika stigma terorisme dilekatkan kedalam islam.
Secara istilah
kita juga harus memilah istilah ekstrimis dan teroris, jika ekstrimis adalah
umat islam yang menjalankan keislaman dengan gaya yang kaku. Maka teroris
adalah kekerasan yang menimbulkan ketakutan. Kedua istilah ini sangat berbeda.
Ekstrimisme biasanya ditandai oleh gerakan keagamaan yang doktriner,
determinan, menekan, dan menuntut umatnya agar tidak keluar dari koridor
standar al-qur’an dan hadits. Terorisme muncul ketika ada sebagian kelompok
kecil yang merasa ajaran mereka yang benar disumbat sehingga mereka merasa
harus melawan.
Kita tidak bisa
serta merta menuduh islam sebagai biang keladi dari semua tindakan terorisme di dunia. Aktifitas dialog anatar umat juga bisa dilakukan
agar stigma islam bisa keluar dari bingkai terorisme.
Di Indonesia,
terorisme selalu mengalami perubahan gaya, bentuk, pola propaganda, rekruitmen
dan jaringannya. Terorisme seakan tidak pernah mati, dan yang paling berbahaya
bukan hanya panggung aksi yang dipenuhi dengan pengeboman dan tembak-tembakan,
tetapi paham dan ideologinya yang mampu merubah pandangan dan pola pikir
masyarakat.
Salah satu
kelompok umur yang paling rentan terkena dampak doktriner adalah kalangan
generasi muda. Tampaknya bukan menjadi rahasia lagi jika mayoritas pelaku bom
bunuh diri adalah para anak muda usia 17-30 tahun. Generasi muda harapan bangsa
ini telah nyata menjadi target doktriner para mentor paham-paham terorisme.
Memang ada
banyak alasan untuk menganalisa kerentanan generasi muda dari pengaruh ajakan
dan propaganda kelompok radikal terorisme. Disamping karena faktor psikososial
kalangan generasi muda yang dipenuhi semangat dan idealisme yang tinggi,
minimnya pengetahuan terkait bentuk, pola dan perkembangan terorisme menjadi
salah satu alasannya.
Menelaah Clash of Civilization
Samuel P Huntington pernah membuat karya
besar yang menggambarkan ajaran “jihad” dalam Clash of Civilization. Dalam
karyanya tersebut, Huntington mensinyalir benturan peradaban akan semakin keras
jika dibumbui oleh pertarungan antar agama. Tafsir yang kaku dan hyper-fanatik
terhadap agama akan menjadi pemicu meledaknya peperangan. Sudah pasti, karya
Huntington itu menjadi pembenar jika ada kekerasan yang bermotif agama.
Dilihat dari permukaan, tesis Huntington
memang seolah-olah akurat. Persoalan yang muncul kemudian adalah, sejauh mana
Huntington melihat daya tafsir sekelompok orang terhadap keyakinan agamanya.
Huntington sendiri belum begitu gamblang dalam menjelaskan mengeai makna jihad.
Di sini kami tidak hendak mengkritik atau bahkan menyalahkan Huntington, akan
tetapi alangkah bijkanya jika kita mampu secara independen menelaah benturan
peradaban yang mugkin sedang terjadi.
Mengikuti tesis Huntington kamipun
terpengaruh untuk menyebut abad 21 sebagai akhir dari sejarah. Dimana pemenang
sejarah sudah terlihat jelas, dia adalah yang menguasai peta Geo-politik,
Geo-ekonomi, dan Geo-strategi. Gerakan-gerakan ekstrim keagamaan yang muncul
pastilah tidak terlepas dari itu semua. Seperti halnya Al-qaeda ataupun ISIS
yang dalam menjalankan gerakannya mendapatkan “perlindungan” intelejen dan
fasilitas keamanan serta jaminan eksploitasi minyak di kawasan perbatasan
irak-suriah. Hal ini sangat dimungkinkan, mengingat organisiasi terror tersebut
sebagian besar anggotanya adalah fantis agama yang tidak mendapat tempat di
negara dan agamanya, dan mereka membutuhkan “suaka” politik juga penadah
eksploitasi minyaknya.
Di lain sisi kelompok Al-Qaeda dan ISIS menganggap dan meyakini hanya hasil tafsir meraka saja yang benar, maka
sudah cukup bagi mereka untuk mengkafirkan kelompok lainnya meskipun bernaung
pada agama yang sama. Sehingga, jika benar pula bahwa para teroris memang
berasal dari kelompok aliran agama tertentu, maka tuduhan salah atau sesat
terhadap perbuatan teror yang dilakukan pasti justru akan semakin memperkuat
perbuatan teror tersebut. Sebab, hukum alam telah membuat niscaya logika pikir
manusia bahwa nilai kebenaran selalu beriringan dengan kritik. Tidak ada
segolongan manusia yang berhak menilai salah sebuah hasil tafsir kitab suci.
Apalagi, atas nama agama, kita sama-sama yakin bahwa kebenaran yang mutlak
hanya milik Tuhan.
Model kelompok keagamaan
yang pemahamannya sempit dan tertolak oleh negara dan agamanya akan dengan
mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Dan dalam perspektif
Geo-strategi mungkin saja ada pihak dengan kekuatan yang sangat besar sedang
menunggangi Al-qaeda dan ISIS.
ISIS dan terorisme modern
Sekarang
ini, ISIS menjadi term terorisme yang akhir-akhir ini sering di perbincangkan.
Kelompok ini muncul akibat merebaknya fenomena perang di kawasan timur tengah
(arab spring). Kelompok ISIS sebetulnya adalah sub-kelompok dari Al-Qaeda yang
gaya gerakannya paling keras dibandingkan kelompok radikal yang lain.
Awalnya kelompok ini berjuang di irak di masa
invasi AS ke Irak tahun 2003 yang dipimpin oleh Abu Mush’ab Al-zarqawi, salah
satu pejuang kepercayaan Ossama Ben Ladden karena kecerdasannya dalam menyusun
strategi serangan. Namun, ketika Al-zarqawi terbunuh pada tahun 2006, para
pejuang di Irak membentuk suatu dewan syura yang kemudian mendirikan Daulah
Islam Irak (DAI) dan pimpinan terpilih saat itu adalah Abu Umar Al-baghdadi.
Tahun 2010 Abu Umar meninggal lalu digantikan oleh adiknya yaitu Abu Bakar
Al-baghdadi yang kurang dikenal oleh mujahid senior.
Ketika
terjadi Revolusi Suriah tahun 2011 sebagian pejuang Irak asal suriah pulang
kampung dan ikut berjuang melawan Bashar Al-Assad dengan membentuk perkumpulan
Jabhat Al-nushrah (JN). Tahun 2013 ketika kelompok ini mampu menguasai
kota-kota besar di Suriah Abu Bakar Al-Baghdadi mendeklarasikan Daulah
Islam Irak dan Syam / DAIS atau ISIS (islamic state in Irak and Syam) dalam
bahasa Inggrisnya. (kadang disebut ISIL karena sham diganti kata Levant dalam
bahasa Inggris).
Perang
tak henti di suriah. Lantas terror dan serangan di paris, Lebanon, Istanbul, Jakarta dan yang
paling muttakhir
di Brussels belgia.
Opini yang kuat dalam rangkaian serangan ini adalah tanggungjawab ISIS. Dalam
menangani aksi terorisme kali ini AS telah mengeluarkan program CVE (Countering
Violent Extremisme). Pendekatan gerakan anti terror kali ini lebih soft tidak
seperti gerakan militer brutal AS yang
menyerang irak dan Afganistan.
Upaya penjernihan dan koreksi atas semua upaya
pencegahan terorisme
CVE
dilakukan dengan kampanye, rapat terbuka, seminar, pendekatan keberagam kelompok agama
dan memerankan secara penting pada kalangan kelompok agama baik tingkat local, nasional, maupun internasional. Sosialisasi
CVE dilakukan dari hotel bintang lima
hingga di pondok pesantren untuk menyadarkan bahaya terorisme akibat pemahaman
agama yang lemah. Termasuk akbiat dari perang suriah yang tak kunjung usai,
gelombang pengungsi ke Eropa, dan ‘hit
and run’ soal aksi terorisme di beberapa Negara.
Ada
sebuah dokumen kesepakatan penanggulangan anti terorisme yang sangat menarik
yaitu ‘Pernyataan Abu Dhabi: Menolak Kekerasan Ekstremisme Agama dan
Mendorong Kesejahteraan Bersama’ yang dideklarasikan pada tanggal 13 desember 2014
oleh para tokoh pemimpin, cendikia dan organisasi berbasis agama islam dari
berbagai Negara. Dokumen ini juga menyertakan berbagai rekomendasi
untuk pemerintah, PBB, dan komunitas agama
Ada tiga hal yang dideklarasikan terkait dengan
pendorong atau peyebab munculnya kekerasan ekstremisme agama. Kita akan
menuliskan deklarasinya sekaligus mengungkapkan koreksi dan sanggahan untuk
ketiga poin dari pernyataan Abu Dhabi ini :
-
Pertama, Ideology agama dan spiritual. Ini dimaknai sebagai
salah tafsir atas agama untuk membenarkan kekerasan. Di masyarakat umum sering
terdengar ungkapan, teroris muncul karena pemahaman agama yang tidak menyeluruh.
Sanggahan, Menurut kami pernyataan ini harus dibongkar dan
diganti dengan sebuah rumusan teori baru untuk melihat aspek yang lebih dalam
atas munculnya fenomena kekerasan dalam agama. Karena pada kenyataannya para
teroris-agama adalah orang yang pemahaman agamanya di atas rata-rata, bahkan
mereka menguasai ilmu-ilmu psikologi dan kepribadian sebagai perangkat untuk
merekrut anggota. Dan para teroris sangat menguasai ilmu-ilmu sains, kami kira
perlu ada pendekatan budaya dan sejarah agar ada lendasan epistemology yang
jelas mengenai penyebab munculnya terorisme.
-
Kedua,
Sosio-ekonomi.
Hal ini sebetulnya sangat klise. Sering kita dengar bahwa perekrutan anggota teroris menyasar
kepada kaum miskin.
Sanggahan,
kemungkinan
benar, akan tetapi para gembong teroris seyogyanya lebih mengincar para
konglomerat yang fanatic terhadap agama. Sebut saja Ossama Bin Laden yang
memiliki beberapa perusahaan di amerika yang dikelola oleh anak-anaknya. Sering
juga para teroris menyebut-nyebut istilah Negara atau pemerintahan thoghut. Hal
ini bisa jadi dikarenakan eksistensi Negara belum hadir sepenuhnya
ditengah-tengah masyarakat. Pemerintahan cenderung korup dan memperkaya
penyelenggara Negara. Rakyat yang basisnya adalah agama islam merasa dimiskinkan
oleh pemerintahan toghut ini. Bagi para teroris, Negara dianggap gagal dalam
memberikan hak mendasar bagi masyarakat, menyediakan layanan dasar termasuk
pendidikan. Argument ini bisa menjadi dasar yang paling logis bagi para
ekstrimis dalam melawan Negara dengan atas
nama agama dan mereka menawarkan system pemerintahan berdasarkan ajaran
agamanya sebagai alternative terbaik atas pemerintahan yang dianggap kurang
sigap.
Dalam hal ini, seharusnya pemerintah melakukan
upaya diplomasi politik terhadap kaum ekstrimis untuk menawarkan solusi
pemerintahan yang lebih baik. Karena terror tidak mungkin hilang jika selalu
dilawan dengan cara-cara militer.
-
Ketiga,
psikologis.
Ini dimaknai sebagai kegagalan memiliki kehidupan bermakna. Sering para
pengikut ajaran ekstrem menganggap ajaran agama islam terlalu lemah dalam
mengahadipi hegemoni barat yang mempengaruhi perilaku hidup sebagian umat
islam, sehingga ajaran islam kurang bermakna bagi generasi modern. Hal ini
memang benar jika melihat realitas, mayoritas masyarakat islam dunia kurang
begitu maksimal dalam mengamalkan perilaku islami (walaupun masih bias) karena
pengaruh hegemoni barat melalui ilmu pengetahuan dan produk-produk konsumtif
mereka yang bertebaran di mana-mana.
Sanggahan,
sebetulnya
hal itu bukan masalah utama bagi para ekstrimis agama. Ketidak adilan lah yang
menjadi pemicu munculnya gerakan-gerakan radikal islam itu. Hal ini tidak
muncul di Indonesia tapi di Negara-negara yang penduduk muslimnya minoritas. Di
beberapa Negara termasuk perancis dan swiss sempat ada larangan pemakaian
jilbab dan larangan sholat dzuhur dan
sholat jum’at karena siang hari adalah jam kerja. Di dalam peraturan semacam
ini,umat muslim seakan-akan tidak mendapat tempat yang layak di tengah-tengah
masyarakat. Umumnya masyarakat muslim yang berada di Negara mayoritas sekuler, mereka ingin dihargai dan
memiliki martabat yang tinggi, tidak dilarang mengekspresikan keagamaannya dan
ibadahnya.
Kenapa kami harus menyanggah deklarasi tersebut?
Karena terorisme berkedok agama bukan barang sebentar jadi dan sebentar hilang.
Munculnya teroris-agama terjadi akibat akumulasi panjang bahkan sebelum Perang
Dunia pertama dimulai. Akar sejarahnya mungkin dapat dibaca dengan mempelajari
sejarah islam yang penuh gejolak politik dan perang antar dinasti, antar
aliran, bahkan saling mengkafirkan sesama muslim. Akan tetapi, sejarah teroris-islam modern muncul akibat
berbagai penjajahan bangsa eropa terhadap bangsa asia dan afrika di abad modern
(abad 17-19).
Kemajuan pesat eropa di abad modern dan penjajahan
massif ke wilayah timur yang mayoritas beragama islam telah menanamkan
benih-benih ‘revolusi’ dalam ajaran islam. Puncaknya ketika muncul Ikhwanul
Muslimin di mesir yang dimotori oleh Jamaludddin Al-Afghani, serta munculnya
Hizbut Tahrir di palestina tahun 1953 yang mencoba menggelorakan kembali
khilafah islam yang pernah Berjaya di abad 7-13, serta reaksi terhadap
sekularisasi Negara turki sebagai symbol khilafah islamiyah oleh Mustapha Kemal
Attaturk yang disokong oleh kerajaan Inggris.
Maka
pan islamisme yang sebenarnya adalah kedengkian bangsa arab terhadap barat merebak
luas untuk menggelorakan perlawanan kaum muslim. Tujuannya apa? gerakan tersebut ingin memobilisasi kekuatan islam untuk
menyalip bila perlu melibas kemajuan barat dan melawan hegemoni
penjajahan bangsa barat terhadap bangsa timur. Harap diingat gerakan radikal
islam pemicunya adalah ambisi politik bangsa arab untuk melibas bangsa barat.
Mengkaji aspek
politik, sejarah, dan budaya
Dengan dasar sosio-historis ini kita bisa melihat, alasan
keagamann ternyata bukan yang utama, tetapi lebih kepada rasa iri bangsa arab
terhadap bangsa barat semata dengan dibungkus sentimen agama. Maka dari itu
ketiga pendorong penyebab munculnya teroris-islam
dalam “pernyataan Abu Dhabi” tidak argumentatif.
Ketiga pendorong tersebut mereduksi akar persoalan
dengan membatasi penyebab pada kurangnya pemahaman agama, kemiskinan, dan
masalah kejiwaan semata. Jika rumusan terorisme ini tidak dikritik seolah
memisahkan kekerasan agama dari aspek politik, sejarah, dan budaya.
Ingat sekali lagi, para teroris-islam sangat paham
kondisi geo-politik, geo-strategi, dan geo-ekonomi. Bahkan mereka mampu
membangkitkan sentiment sejarah dan
budaya. Jika pencegahan terorisme hanya dilakukan dengan metode penyuluhan,
kemungkinan sama sekali tidak akan mengurangi aksi-aksi terror itu.
Bahkan “pernyataan Abu Dhabi” ini
membuat analisis permasalahan menjadi terpisah jauh dari konstelasi global
beserta problematika multidimensi yang luas dari globalisasi, kekerasan negara terhadap rakyatnya, konspirasi antar negara, bisnis militer,
neoliberalisme, dan relasi serta interaksi politik yang sangat kompleks, rumit, dan sulit diprediksi.
Contoh paling nyata adalah deklarasi Abu Dhabi itu sendiri, yang
menitikberatkan faktor pendorong kekerasan ekstrimisme agama hanya pada
elemen-elemen yang terisolasi satu sama lain. Analisis ini menganggap kekerasan
agama dapat diselesaikan melalui pendekatan multiagama dan multibangsa, namun
secara kontradiktif tampak tergantung pada kebaikan Negara-negara maju,
utamanya AS, untuk mengatasi problem sosial dan layanan publik, serta para
pendidik agama dan komunitas untuk meredam potensinya di tahap lokal. (Islam
Bergerak.com)
Pemerintah Indonesia sendiri sangat tergantung dengan sokongan dana
dari Australia dalam program pemberantasan terorisme. Bahkan, pencegahan
terorisme ini seringkali salah sasaran, seperti yang pernah dilakukan BNPT yang
memeriksa pesantren-pesantren yang taka da hubungannya dengan gerakan
terorisme, kasus salah tembak Densus 88 kepada warga sipil, dan pemberitaan
berlebih kepada isu terorisme.
Tentu saja penting melakukan dialog perdamaian dan membangun
jembatan jejaring lintas-agama, lintas-wilayah, lintas-negara dan lintas-pihak,
menuntut pemerintah untuk mengurangi kemiskinan dan memenuhi hak-hak dasar
warga, serta mendukung inklusivitas masyarakat. Namun, ini jelas tidak cukup.
Dibutuhkan suatu ketelanjangan – kejujuran - keberanian untuk menembus lapisan
yang kompleks dan realitas multidimensi dalam relasi kita dengan kekuasaan dan
pengetahuan termasuk di bagian mana kita memposisikan diri. Kita juga harus
jujur pada keterbatasan dan kegagalan masa lampau. Kritik terhadap institusi
agama juga perlu dipertajam, setidaknya tokoh-tokoh ulama tidak merendahkan
moral pelaku terror dengan menyebutnya sebagai pencoreng nama agama.
Kita perlu analisis dan investigasi untuk menyatukan kekuatan partikular.
Kemudian kita mengupayakan di tiap komunitas dibangun “kedisiplinan” doktrin
agama dengan tetap menumbuhkan semangat kolektif antar umat beragama.
Pendekatan dari berbagai bidang Ilmu Pengetahuan
Jika kita hendak memutus siklus jahat peningkatan
jaringan terorisme transnasional, hendaknya kita membangun kerangka analaisis
bersama dari berbagai bidang ilmu baik
filsafat, sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah, hukum, ekonomi, dan
politik. Dengan beragam perangkat ilmu yang dipakai dan kompleksitas
permasalahan yang sangat luas, maka
diperlukan konsistensi dan penyamaan persepsi bahwa terorisme bukanlah gerakan
agama.
Ada
urgensi kebutuhan untuk menganalisis partikularitas budaya dan geopolitik atau
kontrol atas wilayah, untuk kemudian memaknai ulang dan mendekonstruksi narasi
atau gagasan yang bias pada term “ekstremisme agama” dan “deradikalisasi”.
Langkah etis berikutnya adalah penguatan pada partikularitas konteks dan
merajut semangat solidaritas dengan cara melahirkan sikap moral bersama.
Kongkritnya,
dengan kerangka analisis bersama tadi, kita harus bersepakat tidak ada lagi
istilah “ekstrimisme agama” dan “deradikalisasi” dalam agama islam. Kita harus
menjernihkan islam dari kedua istilah tersebut sehingga tidak ada lagi
kecurigaan terhadap kaum muslim.
Langkah
etis berikutnya adalah penguatan pada partikularitas konteks dan merajut semangat
solidaritas dengan cara melahirkan sikap moral bersama lintas agama dan lintas
etnis. Bentuk kongkritnya adalah meminimalisir pengucapan istilah “islam
adalah agama kekerasan” dan “islam
adalah agama damai”. Pengucapan istilah pertama jelas secara tegas mengatakan
islam adalah agama kekerasan. Namun pada istilah kedua, yang biasanya digunakan
sebagai kontra-narasi istilah pertama justru mengandung makna tersirat bahwa
sebagian ajaran islam adalah kekerasan. Ironisnya istilah kedua ini sering di kooptasi
atau bahkan merupakan rangkaian dari istilah pertama.
Narasi “islam
adalah agama damai” muncul
akibat fenomena Islam garis keras. “islam adalah agama
damai” secara
sederhana bisa diartikan sebagai defense mechanism (mekanisme pertahanan)
terhadap tuduhan “Islam adalah Agama Kekerasan.” Ada sebuah teori psikologi
yang mengatakan, jika kita mengelak tuduhan dengan cara berlebihan berarti kita
memang melakukan tuduhan itu. Nah, defense mechanism dengan narasi “islam
adalah agama damai” adalah
reaksi pembelaan yang berlebihan, bahkan cenderung kekanak-kanakan,
terburu-buru, dan tidak dewasa yang justru memperkuat asumsi bahwa islam adalah
agama kekerasan yang sebenarnya. Bagi kami ini adalah ironi.
Maka kembali lagi di awal,
bahwa upaya penjernihan Islam dari Noda terorisme harus dirumuskan secara
sistematis, naratif, epistemologis, dewasa, dan ilmiyah. Hal ini untuk
memberikan pemahaman secara luas kepada masyarakat non-muslim yang awam pula.
Dengan begitu, di kalangan muslim pun akan tumbuh tradisi tabayyun yang lebih
filosofis dan epistemologis, bukan dialog yang sifatnya diplomatis belaka.
Memperjelas ranah hukum terorisme
Sejak tahun 2002, atau setahun setelah aksi
terror 11/9 dan satu bulan sejak aksi terror di bali, pemerintah Australia
mengenalkan perundang-undangan anti-terorisme baru yang berbeda sebagai bagian
dari kampanye untuk menjamin keamanan Australia dan untuk memenuhi kewajiban
internasional Australia.
Kemudian
pemerintah Indonesia, atas sokongan dana dan dukungan politik dari pemerintah
Australia (termsuk karena korban bom bali mayoritas adalah warga australia),
maka pemerintah Indonesia menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor satu Tahun 2002 (Perppu 1/2002) yang pada tanggal 4 april 2003 disahkan
sebagai UU anti Terorisme (UU 15/2003).
Undang-Undang
itu diberlakukan dengan dasar kesadaran
sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme,
serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari
Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas
Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual
dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan
hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang
Tindak Pidana Terorisme.
Hal
ini lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai
untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, maka Pemerintah Indonesia merasa perlu
untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Status
UU anti terorisme adalah Undang-Undang Khusus yang menangani sebuah
permasalahan khusus dan serius. Undang-undang khusus ini dimungkinkan ada,
terutama jika menyangkut persoalan criminal karena ada 4 hal :
- Adanya
proses kriminalisasi atas suatu perbuatan
tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi
perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan
sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat,
menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan
Hukum Pidana.
- Undang-Undang
yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan
perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan
undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
- Suatu
keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan
khusus untuk segera menanganinya.
- Adanya suatu perbuatan yang khusus di mana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian. (sumber Wikipedia.org).
Sebagai
UU Khusus, berarti mencakup aspek formil dan materil sehingga ada pengecualian
dari KUHP dan KUHAP atau sering dikenal dengan istilah lex specialis derogate lex generalis dan harus memenuhi kriteria :
- bahwa
pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh
peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
- bahwa
pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut,
sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang
dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.
Sumber
yang kami ambil dari kumpulan artikel dan terjemahan UU anti-terorisme
pemerintah Australia disini tidak menyebutkan secara implisit tindakan terror
seperti apa dan kelompok apa. Dalam UU ini secara eksplisit disebutkan bahwa
Anti-terorisme adalah sebuah kejahatan khusus dan perlu penanganan khusus maka
harus ada perangkat hokum khusus. Secara keseluruhan isi Undang-undang ini
tidak perlu kami kritik, walaupun akhir-akhir ini muncul wacana untuk merevisi
UU ini agar mencakup kelompok-kelompok garis keras yang anti terhadap
pancasila.
Kami
hanya ingin mengklarifikasi cara implementasi Undang-undang ini di lapangan
yang terkadang objek sasaran pihak keamanan adalah kelompok-kelompok agama.
Bahkan sering terjadi, dengan dalih pencegahan, pondok-pondok pesantren yang
notabene tidak mengandung ajaran-ajaran anti-negara juga mendapat dampak
negative atas perilaku aparat keamanan yang kelewat lebay.
Seperti
tertuang dalam maksud undang-undang ini adalah semua tindakan yang secara
sistematis menimbulkan ketakutan luas di masyarakat adalah tindakan terorisme,
maka harus ada pencegahan dan penindakan yang sifatnya luarbiasa dengan hukuman
luar biasa. Tak disebutkan bahwa yang harus diwaspadai adalah kelompok agama,
utamanya agama islam.
Namun,
sayangnya masyarakat awam memahami UU ini sebagai antisipasi terhadap kelompok
agama islam. Seperti seminar-seminar yang dilakukan di beberapa kampus oleh
BNPT, di situ BNPT kurang tepat dalam menjelaskan terorisme sesuai dengan bunyi
undang-undangnya. Yang perlu diluruskan adalah terlebih dahulu epistemology
term terorismeitu sendiri, baru kemudian kenapa ada kelompok islam garis keras
yang bias dibedah menggunakan pendekatan politik, sejarah, dan kebudayaan.
Kami
berharap, persepsi tentang terorisme tidak terjebak hanya kelompok islam garis
keras, tapi juga tindakan-tindakan lain yang membahayakan masyarakat secara
sistematis dan massif semacam korupsi dan penjarahan Sumber Daya Alam oleh
kapitalis-kapitalis bejat misalnya.
Kami
sadar, munculnya berbagai kelompok islam yang menyuarakan Khilafah adalah
sebuah ancaman ideology untk NKRI. Akan tetapi, jika pemerintah dan masyarakat
umum mau ber-Tabayyun dengan cara-cara yang lebih filosofis dan epistemologis
kami kira ini akan lebih membangun. Bukan hanya membangun mental nasionalisme,
tapi juga mampu membangun nalar akademis, membangun kedewasaan berbangsa, dan
menanamkan sikap mengunggulkan dialog daripada main hakim sendiri.
Bagi
kami, upaya repressif pemerintah dengan membentuk BNPT dan densus 88 justru
semakin menumbuhkan kebencian kelompok ekstrem terhadap NKRI. BNPT dan Densus
88 penting untuk penindakan langsung ke jantung terror, namun pencegahan di
masyarakat harus dilakukan dengan tabayyun yang harmonis demi menjernihkan
Islam dari Noda Terorisme.
*penulis adalah pengelola program Lentera Budaya di Cakra Semarang TV dan pengelola penerbitan Gubug Saloka
0 Komentar