(doc. Google) |
Saat-saat menjelang Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) adalah saat yang akan sering berkutat dengan calon-calon anggota baru. Saat seperti ini, aku mengingat, kita harus memikirkan tentang, bagaimana membuat mahasiswa baru mendaftarkan diri di PMII. Ada banyak hal yang musti kita lakukan. Dari konsep besar yaitu strategi merekrut, hingga paling kecil atau paling bawah yaitu eksekusi di lapangan: mengajak calon anggota secara langsung.
Beberapa kali di lapangan, pertanyaan-pertanyaan sekitaran PMII, pasti selalu mengitarinya dan beterbangan. Selalu dibicarakan di manapun: di pertemuan langsung maupun di dunia media sosial. Ada banyak sekali pertanyaan, tapi ada satu pertanyaan yang akan kuhadirkan sebagai landasan tulisan ini. Pertanyaan itu adalah “untuk apa berPMII?”,
Dalam pertanyaan itu, sekilas, menuntut suatu jawaban yang sifatnya bisa ditemui secara langsung dan bisa dibayangkan. Misalnya adalah dengan berpmii kamu nanti akan bisa memasuki lembaga intra kampus, atau jawaban lain, dengan berpmii kamu akan mendapatkan teman yang banyak, atau jawaban lain lagi, dengan berpmii kamu akan menjadi pribadi yang berintelektual, agamis dan pasti masuk surga, atau jawaban-jawaban lain yang banyak sekali, karena setiap pribadi yang merekrut akan mencoba menawarkan sesuatu yang ‘merasa’ didapatkannya saat berproses di PMII. Pun jawaban-jawaban yang dihadirkan oleh pengurus adalah sesuatu yang mudah dan bisa dibayangkan oleh calon anggota.
Dalam jawaban-jawaban itu, aku ingin berbalik tempat. Jika di awal tadi, aku menjadi pengurus yang mencoba menarik minat calon anggota, maka di paragraf selanjutnya ini, aku akan mengingat bagaimana pertama kali menjadi seorang mahasiswa baru.
Sebagai mahasiswa baru, organisasi kampus adalah sesuatu yang asing. Meskipun di jenjang pendidikan menengah atas, aku pernah berkecimpung di organisasi siswa. Tetapi organisasi kampus, bagiku memiliki dinamika yang lain. Hal ini kukira juga dialami oleh setiap mahasiswa baru: organisasi adalah sesuatu yang asing.
Dalam kategori sesuatu yang asing inilah, memunculkan pertanyaan-pertanyaan bersifat menginginkan suatu gambaran penuh. Dari mulai hal-hal definitif, yang diwakili dengan pertanyaan “apa itu organisasi kampus.” Kemudian, cara beroganisasi di kampus yang terwakili dengan pertanyaan “bagaimana berorganisasi di kampus?” Lalu tentang manfaat atau sesuatu yang didapatkan dari berorganisasi di kampus, yang diwakili dengan pertanyaan “mengapa berorganisasi di kampus atau untuk apa berorganisasi di kampus?”
Secara tidak sadar, aku dan mungkin mahasiswa-mahasiswa baru yang lain, hanya menekankan pertanyaan yang terakhir—dengan hanya sedikit mengetahui dua pertanyaan sebelumnya. Pertanyaan ‘untuk dan mengapa’ adalah sesuatu yang dikejar, demi mendapatkan suatu keyakinan secara singkat tanpa harus mencari jawaban-jawaban pertanyaan-pertanyaan sebelumnya—yang mungkin dan memang membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Dampak dari pertanyaan bisa diketahui ketika berproses dalam organisasi. Dan dampaknya beragam. Pertama, jika pertanyaan itu dijawab oleh pengurus dan anggota baru menjalaninya, lalu memang itu yang dicarinya, kita akan merasa beruntung masuk di organisasi tersebut. Tapi, yang kedua adalah sebaliknya, tidak sesuai yang kita bayangkan. Efeknya bisa bermacam-macam, dari yang tidak memedulikan tantang hal yang dibayangkan dan tidak didapatkannya, hingga merasa kecewa—ini sangat lumrah terjadi. Demikian juga yang terjadi di organisasi PMII.
Seperti yang kita ketahui di awal tadi, jawaban-jawaban yang dihadirkan terkadang bisa dianalogikan dengan bagaimana seorang sales memasarkan produknya. Dalam pemasaran ini kemungkinannya adalah pembeli cocok, pembeli tidak cocok; pembeli biasa saja atau pembeli kecewa dan tidak ingin membelinya lagi.
Memandang perkara ini, kita tidak bisa membuat dakwaan salah kepada siapapun. Baik kepada calon anggota maupun kepada pengurus.
Mereka sudah menjalankan posisinya dengan baik. Akan tetapi, perkara ini bisa kita coba uraikan dan temukan titik temu. Dalam hal titik temu ini, hanya akan meminimalisir sesuatu kekecewaan yang bakal terjadi. Titik temu ini dikembalikan lagi ke dalam interaksi dua belah pihak; calon anggota dan pengurus.
Uraian ini bisa kita kembalikan kepada pertanyaan-pertanyaan yang sudah disebutkan di bagian awal tulisan ini. Akan tetapi penekannya, bukan kepada untuk atau mengapa, melainkan pertanyaan tentang PMII, “apakah itu PMII?” Pertanyaan ‘apa’ ini memuat banyak hal, dari hal-hal definisi, sejarah, hal-hal penyusunnya; dari landasan organisasi hingga atribusinya. Dan sebenarnya, pertanyaan ini bisa kita dapatkan melalui MAPABA.
Meskipun, akan muncul sebuah keraguan yang mewujud dengan pertanyaan, “bagaimana mungkin kita bisa meminta seseorang untuk masuk PMII atau membeli produk kalau tidak ditawarkan sesuatu bisa dibayangkan olehnya?” Dan keluarnya pertanyaan tersebut bisa kita lacak dan bebankan kepada keadaan dunia modern. Dunia modern menuntut tentang sesuatu yang singkat dan mudah dibayangkan atau sesuatu yang sudah jelas tentang kemanfaatannya. Kita semua sudah terbiasa hidup dengan hal-hal seperti ini (bersifat pragmatis). Bahwa jika sesuatu itu tidak jelas kemanfaatannya bagi kita, maka sesuatu itu tidak layak untuk dijalani. Meski sebenarnya kita belum menjalani hal itu. Oleh sebab ini, ada pandangan yang musti dirubah, bahwa kebermanfaatan itu tidak bisa hanya diwakilkan dengan uraian singkat atau sesuatu yang bisa dibayangkan di awal. Kebermanfaatan hanya bisa didapatkan kalau kita sudah selesai dengan pertanyaan ‘apa’.
Setelahnya, pertanyaan “bagaimana berPMII?” adalah sebuah proses yang tiada henti. “berPMII” adalah bukan hanya tentang penyelesaian jenjang kaderisasi yang sudah dikonsep, baik formal, nonformal maupun informal. BerPMII adalah proses yang dijalani sejak terbaiat menjadi anggota PMII hingga sampai liang lahat kubur. Kesimpulan-kesimpulan awal di perjalanan inilah yang akan menghadirkan jawaban-jawaban dengan sendirinya. Jawaban itu bisa kita temui di waktu dan ruang yang tidak bisa kita tentukan. Dan kesimpulan-kesimpulan awal itu beragam, maka jawabannya pasti juga beragam. Mungkin saja, karena dalam hal ini, aku juga masih berproses, kesimpulan akhir dari keberPMIIan kita hanya akan kita dapatkan di tempat yang tidak kita ketahui itu.
Melalui ini, titik-titik temu itu adalah soal membalikkan pertanyaan-pertanyaan. Baik dalam diri calon anggota maupun pengurus. Jika itu bisa terjadi, bukan tidak mungkin kekecewaan itu tidak perlu terjadi. Karena sesudah kita MAPABA, pertanyaan “untuk apa berPMII” sudah sangat usang untuk ditanyakan di khalayak umum. Karena pertanyaan itu nanti akan dijawab ke pribadi masing-masing bersamaan dengan prosesnya berPMII.
Jadi sudahkah kamu mendaftarkan diri di PMII atau sudahkah kamu mendapatkan jawaban, “untuk apa berPMII?” Kalau aku, “sudah berpuluh waktu dan aku masih mencari jawaban,”untuk apa berPMII?”
ahmadaam, Sebumi PC PMII Kota Semarang
0 Komentar