Seperti yang kita ketahui bersama, Omnibus Law atau biasa disebut UU Cipta Kerja merupakan satu Undang-Undang yang mengatur banyak hal, yang mana terdapat 79 UU dengan 1.244 pasal yang akan dirampingkan ke dalam 15 bab dan 174 pasal dengan 11 klaster di Undang-Undang yang baru, diantara 11 klaster tersebut adalah; penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketatanegaraan, kemudahan berusaha, pemberdayaan dan perlindungan UMKM, dukungan riset dan dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, kemudahan investasi dan proyek pemerintah, serta kawasan ekonomi khusus. Sedangkan pasal penting yang masuk; pertanahan, lingkungan hidup, perkebunan, dan pendidikan.
Ditengah pandemi seperti ini, Omnibus law menjadi trading topic dengan segala kecaman dari berbagai lapisan masyarakat. Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) merupakan gabungan dari berbagai kelompok dan organisasi masyarakat sipil yang menolak dengan tegas Omnibus Law. Berangkat dengan pengkajian Undang-Undang, penolakan tersebut didasarkan dengan berbagai alasan, seperti halnya; Melegitimasi investasi perusakan lingkungan, mnegabaikan investasi rakyat dan masyarakat adat yang lebih ramah lingkungan, dan menyejahterakan. Penyusunan RUU dianggap cacat prosedur karena dilakukan secara tertutup, tanpa partisipasi dari masyarakat sipil, dan mendaur ulang pasal inkonstitusional. Satgas Omnibus Law bersifat elitis dan tidak mengakomodasi elemen masyarakat yang terdampak akan keberadaan seperangkat RUU Omnibus Law. Sentralisasi kewenangan yaitu kebijakan ditarik ke pemerintah pusat dan menciderai semangat reformasi. Potensi PHK massal dan memburuknya kondisi kerja. Orientasi pendidikan tidak lagi untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan mendapatkan sebuah pekerjaan, dan beberapa alasan lainnya.
Namun, kali ini pembahasan akan terfokuskan pada salah satu pasal penting, yakni; lingkungan dengan lima hal penting yang akan dikaji.
(1) AMDAL, dengan hadirnya UU Cipta Kerja, peran Komisi Penilai Amdal dihapuskan dan digantikan oleh Lembaga Uji Kelayakan yang berada ditangan pemerintah pusat. Sedangkan unsur dari Komisi Penilai Amdal yang telah diatur pada pasal 30 UU 32 / 2009 merupakan representasi dari berbagai stakeholder, seperti; instansi lingkungan hidup, intstansi teknis terkait, pakar di bidang terkait jenis usaha dan dampak, wakil dari masyarakat yang berpotensi terdampak dan organisasi lingkungan hidup, yang kemudian pada UU Cipta Kerja digantikan dengan Lembaga Uji Kelayakan dimana seluruh kewenangan hanya berada ditangan pemerintah pusat. Maka, perlu dipertanyakan akan kualitas hasil kerja dari Lembaga Uji Kelayakan dengan jumlah perencanaan pembangunan yang begitu banyak karena dengan hitungan satu Negara dan hanya di urus oleh pemerintah pusat. Di satu sisi, ini merupakan sebuah bentuk dari praktik sentralisasi kewenangan dimana kebijakan hanya dipegang oleh pemerintah pusat.
(2) Izin Lingkungan, dengan dihapuskannya izin lingkungan, hilang pula ruang keberatan dan upaya hukum yang selama ini menjadi check & balance dari keputusan – keputusan lingkungan. Disamping itu, ruang gerak masyarakat dalam memperjuangkan haknya dengan gugatan perizinan pun secara signifikan tereduksi.
(3) Izin Mendirikan Bangunan (IMB), perubahan pada ayat 2 pasal 6 yang berbunyi “Fungsi gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah daerah dan dicantumkan dalam izin mendirikan bangunan” yang kemudian diganti menjadi “Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantummkan dalam persetujuan bangunan”. Dengan diberlakukannya IMB saja masih ditemui banyak kasus penyalahgunaan, lalu bagaimana nantinya jika IMB dihapuskan? Maka tidak bisa dipungkiri jika nantinya banyak kasus yang bermunculan. Setidaknya dengan adanya peraturan yang diterapkan dapat meminimalisir penyalahgunaan.
(4) Perkebunan, dalam UU Cipta Kerja sektor perkebunan belum dibahas dengan jelas mengenai aturan Amdal, analisis risiko dan sarana prasarana penanggulangan karhutla. Untuk pembahasan lebih jelasnya akan diturunkan dalam bentuk peraturan pemerintah. Namun, perlu diketahui bahwasannnya Peraturan Pemerintah tidak memiliki kekuatan hukum seperti UU. Dalam sudut pandang yang lain, potensi kriminalisasi kepada masyarakat dimungkinkan melalui UU Cipta Kerja. Risiko itu terjadi karena penghapusan syarat memerhatikan kearifan lokal pada pemberian hukuman kepada setiap orang yang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.
(5) Pidana Lingkungan, dihapuskannya sanksi pidana dan hanya memberikan sanksi administrasi untuk pelanggaran hanya akan meningkatkan kerentanan terhadap bencana. Karena ketika ada sebuah pelanggaran dan hanya mendapatkan sanksi administrasi akan sangat berpotensi terjadi pengulangan pelanggaran. Sehingga, kerusakan lingkugan akan semakin parah dan tingkat kerentanan bencana akan semakin tinggi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pasal 100 UU 32/2009, dimana ada penegasan menggunakan sanksi pidana.
Pemantik : Abdul Ghofar
Penulis : Finata
Ilustrasi : EL Huda
0 Komentar