Omnibus Law merupakan suatu hal yang telah digadang-gadangkan oleh para Dewan Perwakilan Rakyat. Dimana dalam perumusannya terkesan buru-buru dan tertutup. Berbagai kejanggalan terus hadir mewarnai proses perumusan hingga disahkannya UU Cipta Kerja ini. Berbagai aksi di media sosial dengan memanfaatkan berbagai platform maupun aksi turun jalan telah digencarkan oleh berbagai lapisan masyarakat, baik dari para mahasiswa pun dengan para buruh. Namun, para jajaran pemerintah tetap bersi kuku untuk mempertahankan dan meluncurkan UU Cipta Kerja ini. Dengan 6 kali perubahan draft UU, maka sudah sewajarnya jika public mepertanyakan akan kesakralan dari pasal-pasal yang ada pun dengan keseriusan dari para DPR.
Dari berbagai cluster yang ada, pada
tulisan ini akan dikerucutkan pada cluster ketengakerjaan. Perlu diketahui
bahwasannya sebagian besar peraturan yang dirubah dalam Omnibus Law berbicara
mengenai efisiensi dan peningkatan produktifitas tenaga kerja, namun UU ini
justru tidak membarui ataupun menambahkan peraturan baru mengenai pelatihan
kerja atau peningkatan kompetensi pekerja. Ketika menyoal tentang penciptaan
lapangan kerja, seharusnya sangat erat kaitannya dengan upaya dalam peningkatan
kompetensi para calon tenaga kerja. Realitas ini memberikan lampu merah kepada
kita semua, bahwasannya perlindungan pekerja seakan terpinggirkan dan tergerus
oleh kebutuhan investasi dan ekonomi. Berikut adalah Pasal-Pasal yang dianggap
bermasalah dan mengganjal pada cluster ketenagakerjaan:
1. Masuknya Pasal 88B
Pasal
88B dalam UU Cipta Kerja berbunyi : (1) Upah ditetapkan berdasarkan: a. satuan
waktu; dan/atau b. satuan hasil, (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah
berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Menurut Amnesty Internasional, pasal
tersebut memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran
yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar penghitungan upah (sistem upah per
satuan). Tidak ada jaminan bahwa sistem besaran upah per satuan untuk
menentukan upah minimum di sektor tertentu tidak akan berakhir di bawah upah
minimum.
2.
Penghapusan
Pasal 91 di UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.
Dalam hal
kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan
pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
tersebut mewajibkan upah yang disetujui oleh pengusaha dan pekerja tidak boleh
lebih rendah daripada upah minimum sesuai peraturan perundang-undangan. Apabila
persetujuan upah tersebut lebih rendah daripada upah minimum dalam peraturan
perundang-undangan, maka pengusaha diwajibkan untuk membayar para pekerja
sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan. Jika
dilanggar pengusaha akan mendapat sanksi. Dengan kata lain, kemungkinan besar
pengusaha akan memberikan upah yang lebih rendah kepada pekerja dan tidak melakukan
apa-apa karena tidak ada lagi sanksi yang mengharuskan mereka melakukannya.
3.
Pencantuman
Pasal 59 UU Ketenagakerjaan terkait perubahan status PKWT menjadi PKWTT
Jangka
waktu maksimum perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan
maksimum belum secara spesifik diatur seperti dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi
disebutkan akan diatur dalam PP. Sebagai catatan, aturan teknis apapun yang
dibuat menyusul pengesahan Omnibus jangan sampai membebaskan pengusaha dari
kewajiban mereka untuk mengubah status pekerja sementara menjadi pekerja tetap.
Hal ini menghilangkan kepastian kerja.
Dalam
UU Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tadinya terbatas
untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali
untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Dalam UU Cipta Kerja, PWKTT
menjadi tidak dibatasi oleh Undang-Undang sebagaimana tertera dalam Pasal 56
ayat (3) UU. Dengan demikian secara tidak langsung RUU Cipta Kerja menghapuskan
pembatasan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan menyerahkannya pada
kesepakatan para pihak. Artinya, peran pemerintah menjadi lemah, karena tidak
dapat mengintervensi jangka waktu PKWT. Output dari ketentuan ini akan
menyebabkan semakin menjamurnya jenis pekerja kontrak. Ketentuan ini sudah banyak
dikritik oleh kalangan pekerja karena menunjukkan kurangnya keberpihakan
pemerintah terhadap perlindungan hak dan kepastian hukum bagi pekerja.
4.
Ayat
4 dan 5 Pasal 77 dalam UU Cipta Kerja
(4)Pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5)Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja pada sektor usaha
atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pada
Pasal dijelaskan bahwasannya pelaksanaan jam kerja bagi pekerja / buruh di
perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama. Hal ini menunjukkan tidak adanya kejelasan peraturan yang
dicanangkan. Pengaturan kebijakan waktu kerja yang tidak jelas, dinilai menjadi
celah semakin terbukanya eksploitasi terhadap pekerja. Selama ini saja banyak
kasus pekerja yang upahnya tidak dibayar, tetapi waktu kerjanya tetap berjalan
normal. Bahkan terdapat kasus pengusaha yang kabur dengan tidak membayar
hak-hak normatif pekerja. Sedangkan pada ayat 5, ketentuan lebih lanjut akan
diatur degan Peraturan Pemerintah. Ayat ini menambah jumlah ketentuan yang
perlu diatur lebih lanjut. Pada bab ketenagakerjaan, terdapat 17 ketentuan yang
perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah, dan 2 ketentuan yang peru
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden. Realitas ini menggiring sebuah
opini bahwasannya UU Cipta Kerja tidak menyelesaikan masalah (hiper-regulasi)
5.
Nilai
maksimal pesangon
Pasal
ini dipermasalahkan lantaran aturan nilai maksimal pesangon yang diberikan
mengalami penurunan dari sebelumnya sebanyak 32 kali upah dalam UUK, menjadi
hanya 25 kali di UU Cipta Kerja. Pembayarannya terdiri dari: pesangon setara 19
kali upah menjadi beban perusahaan dan enam kali upah diberikan oleh BPJS
Ketenagakerjaan dalam bentuk Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Pembayaran
nilai maksimal 19 kali upah tersebut tercantum pada Pasal 156. Pada Ayat (2)
disebutkan bahwa uang pesangon untuk masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih
ialah 9 (sembilan) bulan upah. Sedangkan pada Ayat (3), disebutkan uang
penghargaan untuk masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih ialah 10
(sepuluh) bulan upah.
6.
PHK
Masalah
PHK yang dapat dilakukan oleh perusahaan ini diatur dalam Pasal 154A. UU
Ciptaker menambah 5 poin lagi alasan perusahaan boleh melakukan PHK, di
antaranya meliputi:
1.
Perusahaan
melakukan efisiensi
2.
Perusahaan
melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan
3.
Perusahaan dalam
keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
4.
Perusahaan
melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh
5.
Pekerja/buruh
mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak
dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan
7.
Istilah
ambigu dalam pemberian cuti
Kritik
lain bagi RUU Cipta Kerja adalah adanya pasal-pasal yang rentan menimbulkan
misinterpretasi karena menggunakan istilah yang ambigu. Sebagai contoh, Pasal
93 ayat (2) RUU Cipta Kerja yang akan mengubah Pasal 93 Undang-Undang
Ketenagakerjaan terkait pengecualian dari asas ‘no work no pay’. Pasal ini
menyebutkan bahwa “pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh tidak
masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan.”
Tidak
ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan ‘berhalangan’ baik dalam
pasal tersebut, maupun dalam penjelasan pasal. Padahal, kata ‘berhalangan’
memiliki arti yang luas, sehingga rawan menyebabkan ketidakpastian hukum dalam
pemberian hak cuti bagi pekerja. Ketika kata ‘berhalangan’ berintepretasi bebas
maka perlindungan hak cuti bagi pekerja menjadi tidak terjamin. Ketidakjelasan
pemilihan kata dalam Pasal 93 ayat (2) RUU Cipta Kerja dikhawatirkan justru
akan berpotensi menghapuskan hak pekerja termasuk pekerja perempuan mendapatkan
cuti sakit, cuti haid, cuti melahirkan, maupun cuti menikah dan menikahkan.
Penulis : Finata
Ilustrasi : EL-H
Pemantik : Alvin Afriansyah
Sumber lain : Riyanto,
Sigit, dkk. 2020. Catatan Kritis dan Rekomendasi terhadap RUU Cipta Kerja.
Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
0 Komentar