doc. https://blogger.googleusercontent.com

    Pancasila sering kali diperlakukan seperti mantra sakti. Setiap kali kita merasa identitas nasional kita terancam, kita segera mengucapkannya, seolah-olah lima butirnya mampu mengusir segala bentuk ancaman.


    Tapi sayangnya, kita lebih sering mengucapkan Pancasila dengan nada yang lebih mirip orang membaca mantra pengusir setan daripada sebuah refleksi filosofis. Diucapkan dengan lantang, namun tanpa pemahaman mendalam. 


    Coba saja perhatikan di upacara bendera, kata-kata Pancasila meluncur begitu cepat dari mulut, seolah-olah kalau terlalu lambat, negara ini akan meledak. Tapi setelah upacara selesai, berapa banyak dari kita yang benar-benar memikirkan maknanya?


    Pancasila, bagi banyak orang, tidak lebih dari sebuah ritual. Kita hafal urutannya, namun tidak pernah benar-benar memahami maknanya. Seperti doa yang kita ucapkan di tengah kantuk, mengalir keluar dari bibir tanpa sempat disaring oleh akal sehat.


    Kalau Pancasila itu makanan, mungkin kita sudah kekenyangan makan bungkusnya, sementara isinya kita biarkan membusuk.


    Kita lebih sibuk memamerkan identitas sebagai "Pancasila" ketimbang benar-benar menerapkan nilai-nilainya. Seperti orang yang bangga pakai baju mahal tapi lupa memakai baju dalam; kelihatan keren di luar, tapi kosong di dalam.


    Pada akhirnya, Pancasila menjadi semacam talisman nasional yang kita gantungkan di dinding, bukan karena kita memahami kekuatannya, tapi karena kita takut tanpa itu, dinding kita akan runtuh.


    Sebuah simbol yang megah, namun nyaris tak tersentuh oleh nalar. Kita tidak mempelajari Pancasila seperti mempelajari sesuatu yang sakral, tapi lebih mirip menjaga benda keramat yang diwariskan oleh nenek moyang, hanya karena takut kena kutukan.


Sila Pertama : Ketika Tuhan Dijadikan Alibi untuk Segala Hal


Mari kita mulai dengan butir pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa."


Di atas kertas, ini adalah pengakuan paling luhur tentang hubungan kita dengan Yang Maha Kuasa. Namun, dalam praktiknya, butir ini sering kali lebih mirip senjata alibi daripada refleksi spiritual.


Banyak orang menggunakannya untuk membenarkan segala tindakan, baik yang logis maupun absurd, seolah-olah Tuhan berada di belakang setiap keputusan, termasuk yang paling ngawur sekalipun.


Sering kali, Ketuhanan ini kita lihat dipakai untuk mendukung kebijakan yang sebenarnya bertolak belakang dengan nilai-nilai ketuhanan itu sendiri. Misalnya, ketika kebijakan diskriminatif diberi label agama, seolah-olah Tuhan mendukung penindasan terhadap kelompok tertentu.


Ketuhanan di sini menjadi alat pembenaran, bukan sumber moral. Bukannya menjadi cermin etis, butir ini sering kali dijadikan kaca mata kuda, hanya memperlihatkan satu pandangan yang sempit.


Padahal, kalau dipikir-pikir, Tuhan tidak pernah membutuhkan pembelaan manusia. Malah sepertinya manusia lebih sering membutuhkan Tuhan sebagai pembelaan untuk tindakan-tindakan yang tidak bisa dibela dengan logika.


Di sinilah letak ironi yang paling dalam; manusia menggunakan nama Tuhan untuk memuluskan agenda yang, kalau Tuhan sendiri disuruh memilih, mungkin Ia akan langsung geleng-geleng kepala.


Butir Ketuhanan ini menjadi semacam tameng teologis yang tak pernah benar-benar digunakan untuk melindungi, melainkan untuk menyerang. Tuhan menjadi semacam figur otoritas yang bisa dijadikan alibi untuk apapun, mulai dari larangan parkir sembarangan hingga pembenaran kekuasaan absolut.


Sila Kedua : Maksudnya Adil Buat yang Berduit?


"Kemanusiaan yang Adil dan Beradab," terdengar sangat mulia, tapi coba kita lihat lebih dekat, apa sebenarnya yang kita maksud dengan "adil" dan "beradab" di negeri ini.


Dalam kenyataan sehari-hari, adil sepertinya lebih sering diterjemahkan sebagai "adil buat yang berduit." Kalau kamu punya uang, keadilan rasanya lebih mudah didapatkan. Pengadilan mungkin bisa diatur, hukuman bisa diringankan, dan kesalahan bisa dilupakan.


Keadilan di negeri ini, terkadang, lebih mirip barang mewah yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang mampu. Ada banyak contoh di mana kasus-kasus besar yang melibatkan orang-orang berduit tiba-tiba menguap begitu saja, seolah-olah hukum hanya berlaku untuk mereka yang tidak mampu membeli keadilan.


Keadilan sosial yang kita idamkan, pada akhirnya, hanya menjadi ilusi yang bergantung pada tebal-tipisnya dompet.


Lalu soal "beradab." Apakah kita benar-benar sudah beradab? Atau kita hanya berpura-pura beradab di permukaan, sementara di dalam, kita masih terjebak dalam naluri primitif?


Kemanusiaan yang beradab seharusnya berarti kita memperlakukan sesama dengan hormat dan martabat. Tapi, apa yang kita lihat? Sering kali kita justru beradab hanya kepada mereka yang berkepentingan dengan kita. Yang tidak punya kuasa, nasibnya sering kali diabaikan.


Beradab di sini sering kali hanya berlaku ketika ada kamera yang merekam, ketika kita tahu bahwa tindakan kita akan dilihat oleh orang lain. Tapi di balik layar, sering kali kita justru berlaku seperti manusia yang kehilangan rasa kemanusiaan. 


Sila Ketiga : Menyatu Ketika Terancam, Berpecah Ketika Ada Kesempatan


"Persatuan Indonesia," sebuah cita-cita yang terdengar begitu indah, tapi juga begitu rapuh. Seperti kawanan semut yang bersatu saat ada gula, tapi segera tercerai-berai ketika gula itu habis.


Kita bersatu ketika ada ancaman, tapi berpecah ketika ada kesempatan. Mungkin inilah sifat dasar dari persatuan kita; selalu mencari musuh bersama sebagai alasan untuk tetap bersama.


Lihat saja ketika ada bencana alam atau ancaman dari luar, kita bisa melihat semangat persatuan yang membara. Semua orang tiba-tiba menjadi saudara, saling membantu, dan mengesampingkan perbedaan.


Tapi begitu ancaman itu berlalu, kita kembali ke posisi masing-masing, dengan agenda pribadi yang lebih dominan. Seperti setelah pesta, ketika semua makanan habis, tamu-tamu pun pulang, meninggalkan tuan rumah sendirian.


Persatuan di sini lebih sering muncul karena terpaksa, bukan karena kesadaran. Seperti kawanan domba yang bersatu karena takut diserang serigala, tapi begitu serigala itu pergi, mereka kembali merumput di padang masing-masing. Persatuan seperti ini tidak bertahan lama, dan hanya bertahan selama ada sesuatu yang bisa dimusuhi bersama.


Dan ketika kita bicara tentang persatuan, kita sering lupa bahwa persatuan yang sejati tidak datang dari ancaman, tapi dari rasa saling menghargai dan keinginan untuk hidup bersama dalam damai. Kita butuh lebih dari sekadar ancaman untuk benar-benar bersatu; kita butuh kesadaran bahwa persatuan adalah tujuan, bukan alat.


Sila Keempat : Hikmat Mana yang Dipakai, Bijak dari Siapa?


 "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, Dalam Permusyawaratan/Perwakilan," adalah kalimat yang terdengar begitu cerdas, tapi sejujurnya, berapa banyak dari kita yang benar-benar tahu apa yang dimaksud dengan "hikmat kebijaksanaan"?


Hikmat ini sering kali seperti sebuah bumbu dalam masakan yang lezat, kita tahu itu ada, tapi tidak tahu dari mana asalnya dan bagaimana bentuknya.


Ketika kita berbicara tentang hikmat, sering kali yang kita maksud adalah keputusan yang diambil oleh segelintir orang yang merasa mereka paling tahu apa yang terbaik untuk rakyat.


Benarkah mereka berhikmat? Atau hanya pintar berteori dan berpidato? Kebijaksanaan, dalam banyak kasus, sepertinya lebih mirip dengan kepintaran retorika ketimbang pemahaman yang mendalam. Keputusan diambil bukan karena hasil perenungan yang dalam, tapi karena tuntutan situasi dan kepentingan pribadi atau kelompok.


Hikmat ini, kalau kita lihat lebih dekat, sering kali datang dari ruang rapat yang ber-AC, jauh dari realitas yang dihadapi rakyat.


Kebijakan yang diambil pun lebih sering terasa jauh dari bijaksana, dan lebih dekat dengan pragmatisme. Seperti koki yang memasak di restoran mewah tanpa pernah mencoba masakan jalanan, mereka mungkin tahu teori masak yang hebat, tapi tidak pernah benar-benar merasakan kebutuhan,harapan, dan keinginan dasar rakyat.


Sejatinya, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan ini sering kali menjadi slogan yang indah, tapi kosong makna.


Kita hanya melihat keputusan-keputusan yang diambil oleh segelintir elit, sementara rakyat hanya bisa menonton dari jauh, dengan harapan bahwa setidaknya, sisa-sisa hikmat itu bisa sampai ke mereka. Tapi sering kali, yang tersisa hanyalah retorika kosong tanpa substansi yang benar-benar dirasakan.


Sila Kelima : Antara Mimpi yang Indah dan Realitas yang Bikin Bangun


"Keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia."

Ah, terdengar seperti sebuah janji manis yang diucapkan oleh seorang politisi di podium. Tapi ketika janji itu diucapkan, berapa banyak dari kita yang benar-benar percaya bahwa keadilan sosial itu ada di depan mata?


Keadilan sosial, sering kali, terasa seperti mimpi yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Kita sering kali terbangun dari mimpi itu hanya untuk menghadapi realitas yang jauh dari adil. Ketika kita berbicara tentang keadilan sosial, sering kali yang kita lihat adalah fatamorgana. Indah dari jauh, tapi semakin kita mendekat, semakin kita sadar bahwa itu hanya ilusi.


Kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin lebar, sementara janji keadilan sosial hanya menjadi mimpi yang diucapkan berulang kali tapi tak pernah benar-benar diwujudkan. Keadilan sosial menjadi semacam utopia yang ada di benak, tapi tak pernah di bumi nyata.


Realitas keadilan sosial di negeri ini sering kali lebih pahit dari yang kita bayangkan. Sementara segelintir orang menikmati kemewahan yang berlimpah, banyak yang harus berjuang hanya untuk bertahan hidup.


Keadilan sosial, yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara, sering kali hanya menjadi impian yang sulit dicapai, terutama bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Seperti mengejar bayangan, semakin kita berlari, semakin bayangan itu menjauh.


Pada akhirnya, keadilan sosial sering kali hanya menjadi janji kosong yang diucapkan oleh mereka yang berada di puncak piramida sosial. Bagi mereka yang berada di dasar piramida, keadilan sosial mungkin hanya ada di buku-buku sejarah, sebuah konsep yang dulu pernah ada, tapi kini hilang entah ke mana.


Seperti mimpi indah yang tiba-tiba hilang ketika kita terbangun, keadilan sosial di negeri ini lebih sering menjadi sesuatu yang kita harapkan, tapi seolah akan pernah bisa benar-benar kita lihat.


Penulis: Fatih Hayatul Azhar

editor: Hikmatun Nur C