Ilustrasi: 123rf.com


Matikan perasaanmu. Tinggalkan hatimu di rumah.


Saran yang paling masuk akal tentu memperbanyak bacaan. Atau sering-sering baca berita. Intinya, menambah ilmu. Semua orang sudah tahu.


Dan aku setuju. Semakin dalam ilmu kita, semakin tajam juga argumen kita.


Kadang, saking tajamnya, argumen kita menyakiti lawan bicara. Pertemanan bisa berakhir. Keluarga bisa terpecah belah hanya karena salah berkata-kata.


Tapi memang inilah esensi berargumen. Bermain kata tanpa melibatkan rasa.


Apa artinya banyak membaca buku kalau tidak berani mengeluarkan argumen yang menusuk hati?


Apa gunanya memperdalam ilmu kalau argumenmu ditahan-tahan karena takut lawan bicaramu baper?


Argumen dimenangkan dengan logika, bukan dengan perasaan.


Dan kebenaran memang menyakitkan. Apalagi kalau kebenaran itu meruntuhkan kepercayaan yang sudah dia pegang teguh dari lahir.


Sakit? Pasti. Tapi benar. Yang penting kita benar, benar, dan benar.


Tapi… sepenting itukah menjadi benar? Atau lebih tepatnya, memaksakan kebenaran kepada orang yang tidak ingin menerimanya?


Aku jahat memang, menyarankanmu untuk menyakiti hati orang lain demi memenangkan argumen. Tapi itulah pengorbanannya.


Sudah berkali-kali aku memenangkan argumen dengan cara seperti itu. Hasilnya? Orang menganggapku tidak punya hati.


Dan aku menyesal. Aku baru sadar bahwa kepandaian berargumen bukanlah kelebihan, melainkan kekurangan.


Yes, rasanya memuaskan. Melihat lawan bicara tidak bisa berkata-kata karena argumen yang sempurna, tanpa celah sedikit pun.


Tapi besoknya, dia tidak mau lagi berbicara dengan kita. Tidak pernah lagi cerita kepada kita. Dan itu, rasanya menyakitkan.


Kalau mau pandai berargumen, gampang. Pengetahuanmu harus lebih dalam dari lawan bicara. Dan, jangan pakai perasaan.


Kamu tahu apa yang sulit?


Menerima mereka yang berbeda pendapat dengan kita.


Yang sulit adalah mengutamakan kenyamanan orang lain di atas kepuasan kita. Memilih kebaikan, dan merelakan kemenangan.


Kalah, demi menjaga perasaan orang lain.


Ini sulit. Tapi… worth it.



Karya: M. Zaky Zam Zami