Doc. Freepik.com |
Pengarusutamaan gender menjadi suatu langkah
konstruktif dalam menghadirkan suatu iklim sosial yang responsif gender.
Istilah pengarusutamaan gender muncul sebagai sebuah implikasi dari adanya
kesan bahwa persoalan gender senantiasa dijadikan sebagai persoalan yang kurang
diperhatikan. Ada kesan bahwa dengan adanya isu-isu gender yang selama ini
marak digaungkan oleh para aktivis gender telah mengancam pihak-pihak yang selama
ini banyak diuntungkan dalam siklus budaya patriarki ditambah kaum perempuan yang
selama ini memang sudah menerima perlakuan sosial yang tidak responsif gender
di sekeliling mereka.
Menyikapi hal tersebut, Mufidah Ch mengemukakan bahwa
lahirnya pengarusutamaan gender disebabkan oleh adanya upaya untuk mendudukkan
masing-masing pihak dalam peran pengembangan pembangunan secara proporsional.
Oleh karena itu, pengarusutamaan gender dapat dipahami sebagai bagian
pengembangan dari konsep Gender and Development (GAD) karena konsep
sebelumnya yang dalam hal ini adalah Gender in Development (GID)
dianggap gagal dalam mengakselerasi peran-peran perempuan dalam pembangunan.
Dipandang bahwa kegagalan konsep GID tersebut disebabkan karena lebih memahami
kaum perempuan sebagai realitas biologis yang pasif, sementara konsep GAD
mencoba memahami kaum perempuan dengan relasi gender yang aktif dalam kehidupan
sosial.[1]
Pernyataan Mufidah Ch menunjukkan bahwa identitas
sosial sebagai laki-laki atau perempuan adalah sesuatu yang tetap, dengan
konsekuensi masing-masing dalam dinamika pembangunan. Namun, dalam konteks
gender, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi di setiap tahap pembangunan sesuai dengan potensi mereka.
Menjadi laki-laki atau perempuan tidak seharusnya menjadi batasan dalam
keterlibatan dalam pembangunan publik. Fakta empiris menunjukkan bahwa
stereotip laki-laki sebagai sosok yang kuat dan perempuan sebagai sosok yang
lemah tidak sepenuhnya benar, karena dalam kenyataannya ada laki-laki yang
lemah dan perempuan yang kuat.
Dalam rangka pengakselerasian pengarusutamaan gender
pada penerapannya, beberapa strategi yang diadopsi dari Ni Made Wiasti, yaitu
melalui peningkatan kemampuan dan kapabilitas pelaksana pengarusutamaan gender.
Penyusunan perangkat pengarusutamaan gender seperti perangkat analisis,
perangkat pelatihan, ataupun perangkat pemantauan maupun evaluasi, kemudian
pembentukan mekanisme pelaksanaan pengarusutamaan gender seperti forum komunikasi,
kelompok kerja, stering commite antar lembaga, ataupun pembentukan focal
point pada masing-masing sektor, pembuatan kebijakan formal yang mampu
mengembangkan komitmen segenap jajaran pemerinah dalam upaya pengarusutamaan
gender, pembentukan kelembagaan dan penguatan kapasitas kelembagaan untuk
pengarusutamaan gender, serta pengembangan mekanisme yang mendorong
terlaksananya proses konsultasi dan berjejaring.[2]
Kembali pada strategi pengakselerasian pengarusutamaan
gender oleh Ni Made Wiasti, dapat dipahami bahwa pengarusutamaan gender
merupakan konsep yang mencoba membuka akses sama terhadap individu, terlepas
laki-laki maupun perempuan. Pengarusutamaan gender tersebut meniscayakan bahwa
apa yang ada pada wilayah kodrati sebagaimana dalam diri laki-laki ataupun
perempuan bukan suatu halangan untuk menyalurkan potensi pada wilayah gender.
Langkah-langkah terstruktur dan sistematis dalam pengarusutamaan gender menjadi
suatu hal yang perlu dan semestinya harus dilakukan supaya kegiatan pembangunan
dalam berbagai dimensinya dapat berjalan pada alur yang responsif gender.
[1] Mufidah Ch, Pengarusutamaan Gender
pada Basis Keagamaan: Pendekatan Islam, Strukturasi, dan Konstruksi Sosial,
(Malang: UIN-Maliki Press, 2009), h. 89-90
[2] Ni Made Wiasti, Mencermati
Permasalahan Gender dan Pengarusutamaan Gender, (Jurnal Sunari Penjor Vol.
No. 1 Tahun 2017), h. 41
Penulis : Ella
Editor : Sabrina
0 Komentar